Lokasi Pura Perancak
terletak di Desa Perancak Kecamatan Negara.Pura menghadap ke arah Barat dengan
panorama sungai Purancak yang panjang dan lebar merupakan daya tarik yang
kuat.Air sungai sangat tenang seperti kolam, dan di seberang sungai tampak
perladangan yang ditumbuhi pohon-pohon pantai yang berjajar. Pengembon Pura
Dang Kahyangan Gede Perancak ini yang terdiri atas lima desa yakni : Perancak,
Yeh Kuning, Sangkaragung, Budeng, dan Dangin Tukadaya. Setiap enam bulan sekali
saat piodalan yang jatuh pada Anggara Kasih Medangsia ke lima desa ini secara
bergantian melakukan piodalan.
Mengenai kisah
perjalanan Danghyang Nirartha hingga tiba di perangcak, lebih jelas lontar
dharma yatra. Dahyang Nirartha ada menyebutkan, setelah beberaa tahun bermukim
di Blambangan, terjadi perselisihan, kesalahpahaman antara Crijuru (Raja
Blambangan) dengan Danghyang Nirartha dan menuduh sang maha rsi memakai
guna-gua. Tuduhann ini timbul akibat bau keringat Danghyang Nirartha selalu
harum seperti minya bunga mawar sehingga setiap orang yang duduk berdekatan
dengannya turut berbau harum, sekalipun tanpa menggunakan minyak wangi.
Pancaran suci dan
charisma Danghyang Nirartha ternyata membuat seorang adik dari Raja Blambangan
jatuh cinta pada rohaniwan ini. Sebelum persoalan melebar terlalu jauh
persoalan terjadi sekaligus menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
Danghyang Nirartha dengan mengajak istri dan 7 putra putrinya kemudian memilih
berkemas-kemas hendak meninggalkan istana Blambangan dan menyebrang ke pulau
Bali.
Pada suatu hari pada
sekitar tahun icaka 14 atau tahun 1478 M menyebranglah Danghyang Nirartha
bersama sang istri Sri Ratna Patni Keniten dan putra putrinya dengan melalui
Segara Rupek (Selat Bali). Tiba di pantai Blambangan atas bantuan seorang
nelayan , beliau diberi meminjam perahu (jukung) yang kondisinya sudah agak
rusak (bocor). Jukung yang dimaksud akhirnya diberikan kepada istri dan
putra-putrinya.Mengakali agar tak bocor, maka jukung ditutup dengan daun labu
pahit pemberian dari warga Desa Menjaga.
Danghyang Nirartha
sendiri memilih menyebrang lewat jalur lain menggunakan buah labu pahit yang
isinya telah dibuang habis serta memakai tangan dan kakinya sebagai dayung dan
kemudi. Tidak dikisahkan dalam pelayaran ini Danghyang Nirartha dengan selamat
tanpa suatu halangan tiba di pantai Barat pulau Bali, dan ini adalah berkat
bantuan labu pahit serta sudah kehendak Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha
Esa). Pada masih di tengah lautan Danghyang Nirartha berjanji bahwa seumur
hidup beliau tidak akan mengganggu hidup waluh (labu) pahit apalagi memakannya,
dan hal ini harus diikuti oleh para keturunannya.
Oleh karena Danghyang
Nirartha lebih dulu sampai ke pulau Bali ini, sambil menunggu istri bersama
putera putrinya, maka beliau berteduh dibawah pohon ancak.Setelah istri bersama
putera putrinyatiba, maka beliau beristirahat beberapa hari.Di Jembrana kala
itu berkuasa seorang Anglurah bernama I Gusti Ngurah Rangsasa.Anglurah ini
mengemong sebuah pura bernama Pura Usang.Sekalipun sudah ada Anglurah, ternyata
kehidupan masyarakat di sini bersifat “uraga pati”.Mereka masih dalam
kegelapan, sukar mengendalikan hawa nafsu dan rendah budi pekertinya. Melihat
kenyataan seperti itu, maka sang maharsi memberikan petuah serta pemahaman akan
arti kebajikan. Maka banyaklah dating warga yang hendak mendapatkan pencerahan
tentang ajaran agama.
Mendengar ada berita
maharsi memberikan pencerahan ajaran agama, Anglurah Rangsasa hatinya
tergugah.Suatu hari dia mendatangi Danghyang Nirartha untuk diajak sembahyang
di Pura Usang.Rohaniwan ini tak hendak menolak, datanglah beliau ke Pura milik
I Gusti Ngurah Rangsasa dan hendak menghanturkan sembah.Baru saja Danghyang
Nirartha mengatupkan tangan hendak mulai sembahyang, pura ini ternyata pecah.
Pecahnya Pura Usang sebagai tanda kekalahan I Gusti Ngurah Rangsasa dalam
berdiskusi dengan sang maharsi. Anglurah ini akhirnya mohonn pamit dan memilih
melanjutkan perjalanan hidup sebagai pertapa.
Sepeninggalan I Gusti
Ngurah Rangsasa sekaligus untuk menghormati jasa-jasa Anglurah ini selama berkuasa,
maka masyarakat setempat membangun tempat suci diberi nama Pura Ratu Gede
Rangsasa. Pasca sepeninggalan I Gusti Ngurah Rangsasa, maka Danghyang Dwijendra
bersama keluarga juga berpamitan pada waga hendak melanjutkan perjalanan
melalui darat, didalam hutan belukar yang luas (Jimbar Wana). Nah, sepeniggal
maharsi dari tempat pertama kali berteduh, maka warga kemudian menenang
jasa-jasanya dengan membangun tempat suci yang diberi nama Pura Gede Perancak.
b.
Denah
Pura
Keterangan:
a.
Gedong simpen
b.
Balai Pancarsi
c.
Taksu
d.
Betara Melanting
e.
Padmasana
f.
Meru Pelinggih Ida Betara Sakti
g.
Gegong Pekoleman
h.
Gegong Ida Betara Sakti
i.
Naga Basuki
j.
Ratu Nyoman
k.
Balai Banten
l.
Balai Gong
m.
Pepelik
n.
Piasan
o.
Balai Pesandekan
p.
Balai Pesandekan
q.
Pelinggih Apit Lawang
r.
Balai Pesandekan
s.
Tri Kona
t.
Pengubengan
u.
Pelinggih Pengayat Betara
v.
Balai Kulkul
w.
Pelinggih Ulun Danu
c. Foto Beserta Nama Pelinggih
a. Taksu
b. Betara
Melanting
c. Padmasana
d. Meru
Pelinggih Ida Betara Sakti
e. Gegong
Pekoleman
f. Gegong
Ida Betara Sakti
g. Naga
Basuki
h. Ratu
Nyoman
i. Pepelik
l. Pelinggih
Pengayat Betara
Dwitya & Amelia
0 comments:
Post a Comment