1. SEJARAH PURA ULUN DANU BERATAN
A. Prasejarah Pura Ulun Danu Beratan
Di sekitar danau Beratan kemungkinan dahulu telah terdapat komunitas masyarakat prasejarah. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan masyarakat prasejarah menempati tepi dnau, sungai dan pantai. Pemilihan lokasi demikian semata-mata untuk mempermudah kehidupannya terutama memperoleh makanan. Bukti-bukti kebudayaan mereka yang kita dapat terima sampai bebaturan ‘tahta batu’ menandakan daerah ini dahulu memperoleh pengaruh dari budaya megalitik. Setidaknya tinggalan ini sebagai perwakilan dari kebudayaan jaman prasejarah atau jaman batu yang ada di daerah ini.
Menurut penuturan beberapa informan, sebuah tahta batu yang ada di Palebahan Penataran Agung Ulun Danu Beratan, dahulu tidak terletak di tempatnya saat ini, tetapi terletak di samping kiri depan dari bangunan meru tumpang 7. Tinggalan ini telah membuktikan di Pura ini dan sekitarnya pada jaman dahulu pernah berkembang kebudayaan Prasejarah (megalitikum) dan diterima sampai sekarang (prasejarah) berlanjut) dan tetap berfungsi sebagai tempat pemujaan (living monument). Sisa-sisa batu ini yang ditata ulang kembali sekarang difungsikan sebagai tempat penuwuran Ida Bhatara sebelum upacara ngabejiang (salah satu rangkaian Piodalan) dan simbolisasi tempat ngaluhurang Ida Bhatara pada saat penyinehan ‘akhir upacara piodalan’. Di samping itu terdapat beberapa batu megalitik yang terdapat di tepi danau, tepatnya di jaba Pura dalem Purwa.
B. Sejarah Pura Ulun Danu Beratan
Keberadaan Pura bagi umat Hindu pasti memiliki suatu Historis tersendiri. Sejarah yang dimilikinya merupakan sebuah untaian perjalanan menarik untuk ditelusuri. Di samping itu keberadaan sejarah sebuah pura sangat berpengaruh terhadap perkembangan kedepan dan tatanan tempat suci dan masyarakat pendukungnya. Telah menjadi kenyataan umat Hindu membuat Pura pada tempat-tempat yang indah, tempat-tempat bersejarah atau tempat-tempat yang bisa membangkitkan keagungan akan kebesaran Tuhan, di samping dekat dan mudah dicapai oleh umatnya (Cudamani, 1993: 28). Begitu pula parisada Hindu Dharma Hindu Indonesia Pusat memutuskan dalam keputusan Pariwisata Hindu Dharma Indonesia Pusat nomor : 11/kep/I/PHDPI?1334 tentang Bhisama kesucian Pura bagian B. Umum poin 1 menyatakan :
Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci. Gunung, Danau, Campuhan (pertemuan sungai), Pantai, Laut, dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu Pura dan tempat-tempat suci umumnya didirikan di tempat-tempat tersebut karena di tempat itu orang-orang suci dan umat Hind mendapatkan pikiran-pikiran (wahyu) (Agastia, 2008 : 47-48) Berpijakan kepada keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat di atas keberadan Pura Ulun danu Beratan yang berdiri megah di tepi danau memiliki kesucian yang seangat dilindungi dan disucikan oleh umat Hindu. Terbalik dengan itu, manusia saat ini telah melupakan sejarah kehidupan pribadi apalagi mengetahui sejarah berdirinya suatu Pura. Padahal dengan rutin mengadakan upacara keagamaan di tempat itu. Begitu pula dengan keberadaan Pura Ulun Danu Beratan, sejarah berdirinya masih berupa misteri dan berupa versi yang berbeda.
Walaupun Pura Ulun Danu Beratan merupakan Pura Kahyangan Jagat, yang sangat disucikan oleh berbagai golongan warna dan propesi, tetapi catatan tertulis yang pasti mengenainya tetap berupa misteri sampai saat ini. Jika ada yang tertulis, keberadaannya tercecer dalam beberapa lontar dan buku-buku yang perlu dikaji kembali kebenarannya. Akan tetapi untuk melengkapi dan mengisi ruang kosong sejarah dari pura ini, dalam kesempatan ini dengan berbekal sedikti kemampuan akan mencoba merangkainya demi mengisi kekosongan sejarah dalam rentangan waktu yang lama.
2. LINGKUNGAN PURA ULUN DANU BERATAN
A. Lokasi dan Lingkungan Pura
Pura Ulun Danu Beratan secara administrative terletak di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan. Pura ini sangat mudah dijangkau dari jalan raya. Dpat dilalui berbagai jenis kendaraan bermotor. Pura ini terletak di sebelah Timur jalan raya yang menghubungkan jurusan Denpasar – Singaraja. Dari Denpasar jalur yang dapat ditempuh melalui terminal Ubung terus ke Utara, sampai di mengWi Tani (Badung) berbelok ke kanan dan lurus ke Utara menuju jurusan Singaraja.
Sesampainya di kawasan Bedugul, pengunjung akan disajikan pemandangan hutan dan hamparan danau Beratan. Pada sisi Barat danu ini terdapat kompleks Pura Ulun Danu Beratan yang saat ini berdiri megah dan anggun. Pemilihan tempat indah ini sangat relevan dengan tata ruang penempatan bangunan suci yang banyak disebutkan dalam susastra Hindu, khususnya berkaitan dengan tata letak bangunan Suci kuna tertuang dalam kitab Silpasastra. Dalam kitab ini dinyatakan apabila mendirikan bangunan suci, seyogyanya mendirikan dekat dengan tlebutan ‘mata air’, campuhan ‘pertemuan dua sungan atau lebih’, sungai, danau dan pantai. Begitu lontar-lontar Bali seperti Astra Bumi, Asta Kosala-Kosali dan lain sebagainya banyak menguraikan cara-cara pembangunan sebuah tempat suci yang tidak bisa terlepas dengan sistem tata lingkungan sekala dan niskala.
Konsep tata letak bangunan suci setidaknya dekat dengan sumber-sumber air tidak terlepas dengan konsep tirtha ‘air suci’ yang telah mengakar dalam sendi-sendi ajaran Hindu. Disamping itu, dekat dengan sumber-sumber air dapat memudahkan untuk mengambil air suci dn sekaligus melindungi sumber-sumber air tersebut dan tindakan yang tidak diharapkan dalam teo-ekologi Hindu. Dalam terminology Hindu, air merupakan simbolisasi dari kesucian, kesuburan dan pembersihan. Air sangat penting diperlukan dalam berbagai tingkatan ritual keagamaan. Oleh karena itu, bali sering disebut agama tirtha ‘air suci’ karena dalam berbagai rigual keagamaannya, peran kehadiran air sangat penting.
Disamping itu, lingkungan di sekitar Pura Ulun Danu Beratan sangat asri dengan latar belakang pegunungan dan danau Beratan serta taman-taman bunga yang tertata rapid an menambah keindahan tersendiri. Keasrian dan keindahan lingkungan alam yang dimilikinya talah lama memikat para spiritualis, agamawan, Rsi, pada jaman dahulu untuk melakukan tirtayatra ‘perjalanan suci’ ke tempat ini dan selanjutnya mendirikan bangunan kecil untuk memuliakan Dewata sumber-sumber air. Bahkan sampai saat ini keterpesonaan manusia terhadap kawasan ini tak habis-habisnya terbukti kunjungan wisatawan ke areal Pura ini semakin meningkat tiap tahunnya.
B. Letak Geografis
Keindahan dan bentangan alam yang unik telah iktu melatar belakangi terbentuknya imajinasi para Rsi dahulu untuk mendirikan pura ini dengan strukturnya yang khas. Pura ini berdiri megah dalam cekungan terkungkung kaldera gunung Beratan Purba, dengan dikelilingi panorama gunung Pengelengan, bukit Puwun, bukit Tapak dan bukit-bukit yang lebih kecil. Kawasan ini termasuk daerah dataran tinggi berhawa sejuk. Secara geografis Pura ini terletai di tengah-tengah pulai Bali dan dikelilingi oleh perbukitan. Adapun batas-batas dari Pura Ulun Danu Beratan adalah:
Bagian utara adalah Desa Pakraman candikuning dan Hotel enjung Beji
Bagian Timur adalah danau Beratan dan Gunung Penglengan.
Bagian Selatan adalah tegalan dan danau
Bagian Barat adalah Kampung Muslim Candi Kuning II
Letak sebuah Pura di tepi danau , boleh jadi menginpirasikan para pendahulu untuk mendirikan Pura di tempat yang memiliki aura spirit yang tinggi ini.
.
3. STRUKTUR PURA ULUN DANU BERATAN
A. Struktur pelinggih
Pura merupakan tempat suci, sehingga bentuk dan strukturnya pun berpedoman pada teologi dan filsafat. Pada intinya konsep-konsepnya tidak terlepas dari filosofi dan teologi Hindu, dalam konsep Bhuana Agung dan lapisan –lapisannya (lala). Begitu pula pura yang merupakan miniature alam semesta dibagi menjadi beberapa mandala ‘halaman’ sebagai symbol sapta loka dan sapta patala. Secara umum, pura di bali secara struktur terdiri dari Tri Mandala’tiga halaman’ jaba sisi/nistaning mandala’halaman luar, areal aktivitas manusia sehari-hari, jaba tengah/madya mandala ‘halaman tengah’ alam transisi manusia dengan alam kedewataan’ dan jeroaniuttama mandala ‘halaman utama’ alam kedewataan’ ketiga halaman ini merupakan symbol dari Tri Loka yaitu Bhur Loka ‘alam bawah’, Bwah Loka’alam tengah’, dan Swah Loka ‘alam atas”.
Disamping itu juga terdapat pengelompokkan struktur pura yang berdasarkan atas Dwi mandala terdiri dari dua halaman (Nista mandala dan Utama Mandala) yang memiliki arti bahwa pertemuan antara Akasa (langit) dan Prtiwi (bumi). Begitu pula terdapat pembagian Mandala sebuah pura berdasarkan konsep sapta mandala yang merupakan symbol Sapta Loka(bhur, bhuah, swah, jana, tapa, dan satya loka). Penunggalan konsepsi dengan purusa dlam struktur putra merupakan simbolis dari para ‘Super natural power’. Hal itulah yang menyebabkan orang yang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (tuhan yang Maha Esa) dalam sebuah pura. Prakrti merupakan unsur materi dari alam semesta. Apabila dihubungkan dengan keberadaan dengan sebuah pura maka unsur ini adalah palinggih yang disucikan, pratima, arca dan sebagainya dan Purusa merupakan unsur-unsur kejiwaan/spiritual alam semesta, jika dihubungkan dengan pura, ini merupakan taksu (yang menjiwai dari bangunan dan benda-benda yang disucikan di dalam pura).
Begitu pula dengan keberadaan Pura ulun Danu beratan yang sering disebut Pura beratan memiliki struktur dan sulit untuk dutentukan secara pasti, karena terdiri dari beberapa palebahan suci atau areal suci yang letaknya saling terpisah satu dengan yang lainnya dan arah hadapanya pun berbeda-beda. Maka dari pada itu untuk menentukan struktur dari Pura ulun Danu Beratan bertitik tolak dengan keberadaan masing-masing areal utama yang disucikan sebagai uttama mandala. Adapun beberapa halaman yang disucikan di pura adalah : Pura penataran Agung yang memiliki tri Mandala yaitu Nisata mandalanya berupa parker dan taman rekreasi. Madia Mandala-Nya terdapat beberapa bangunan seperti dua buah palinggih apit jawing, sebuah bale yang besar disebut bale Suci (bale saka/tiang 18). Di utama Mandala/Jeroan (halaman utama) terdiri berbagai palinggih yang memiliki berbagai fungsi. Di sisi barat penataran Agung yang hanya dibatasi oleh tembok penyengker terdapat palebahan Perantenan Suci dapur suci.
Pada arah selatan dari penataran Agung terdapat pelabahan Pura Dalem Purwa palebahan dalem purwa memiliki konsep Dwi Mandala yang terdiri dari Nisata mandala berupa daratan dan danau, di utama mandala-nya terdiri dari tiga bangunan, uniknya Pura ini adalah seluruh bangunannya menghadap kearah timur . di arah Timur Penataran Agung juga terdapat dua buah palebahan yang saling terpisah, yaitu Areal Pura Telengin Segara (meru tumpeng 17) memiliki setruktur Dwi mandala jaba sisi-nya dikelilingi oleh danau dan paling TImur adalah pelinggih Lingga petak (meru tumpang 3). Dan menuju kearah Barat dari Dalem Purwa pelinggih Prajapati.
Adapun secara terperinci struktur palinggih dan bangunan pelengkap keagamaan di Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari beberapa palebahan Suci yaitu Palebahan Pura Penataran Agung, Palebahan Pura Tengahing Segara, Palebahan Pura Lingga Petak (Ulun Danu), Palebahan Dalem Purwa dan Taman Beji.
1. Palebahan Pura Penataran Agung
Adapun posisinya menghadap keselatan, di bagian depannya terdapat kori agung sebagai pintu masuk ke jeroan Pura dan dua buah palinggih Tugu Pengapit Lawang. Pada jeroan Penataran Agung terdapat beberapa palinggih yaitu Meru tumpang 7, berbusana serba merah, difungsikan pula sebagai pasimpangan Pura Pucak Teratai Bang, sebuah komplek Pura yang berada di areal Kabun Raya Eka Karya Bali. Di sebelah utara Meru tumpang tujuh terdapat sebuah Padma Lingga, difungsikan sebagai Pasimpangan Pura Pucak Bukit Sangkur. Di sebelah Barat Meru tumpang tujuh juga terdapat Palinggih Padma Tiga yang merupakan stana Sang Hyang Tri Purusa: Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa, inilah yang menjadi pelinggih pokok di Penataran Agung. Di sisi Barat Laut dari palebahan ini terdapat jajaran beberapa palinggih yaitu : Dari Barat, Taksu, Gedong Sari, Gedong Catu Mujung, Catu Meres, Gedong Simpen, Manjangan Sakaluang/Saluang sebagai palinggih Maspait atau Mpu Kuturan Purusa: Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa, inilah yang menjadi pelinggih pokok di Penataran Agung. Di sisi Barat Laut dari palebahan terdapat jajaran beberapa palinggih yaitu : Dari Barat, Taksu, Gedong Sari, Gedong Catu Mujung, Catu Meres, Gedong Simpen, Manjangan Sakaluang/Saluang sebagai palinggih Maspait atau Mpu Kuturan dan juga sering disebut sebagai pelinggih Ratu Pasek, Meru tumpang 3 sebagai stana Ratu Pande.
Di sebelah Selatan dari jajaran pelinggih tersebut terdapat sebuah Gedong Kereb yang disebut dengan palinggih Bala Tama dan disudut tenggaranya terdapat sebuah palinggih yang disebut Bale Ulun Kawas (Ulun Bale Agung) yang juga difungsikan sebagai pengayatan ke Pura Pucak Kayu Sugih. Di pelataran ini juga dilengkapi dengan beberapa Bale yaitu Bale Pemaruman Agung. Di belakang Pemaruman Agung terdapat sebuah Bale yang memiliki 4 balai-balai yang disebut dengan Bale Catur Lawa. Bale Catur Lawa tersebut kemungkinan dahulunya difungsikan sebagai Bale Paselang apabila upacara di Pura ulun danu Beratan memakai Upacara Mapaselang. Selain itu, terdapat sebuah Bale Agung yang membujur dari Timur ke Barat yang terletak pada sisi Selatan areal ini. Bale ini biasanya difungsikan apabila ada pendeta golongan Dwi Jati melakukan pemujaan dalam suatu upacara. Disamping itu juga terdapat bale saka kutus yang dulu memiliki balai-belai, tetapi renovasi terahir, balai-balainya dihilangkan dan juga terdapat bale sakanem yang digunakan sebagai bale pesantian. Di depan Padma Tiga dan sebelah Barat Meru tumpang 7 juga terdapat sebuah Bale Pawedan Luhur atau Pawedan Niskala Ida Bhatara Bhagawanta Niskala Pura ulun danu Beratan yang diyakini berstana di Pura Pucak Bukit Sangkur. Pada sisi Timur juga terdapat Bale Panggungan upakara piodalan. Pada sudut Timur Laut dan penataran ni juga terdapat pelinggih bebaturan atau tahta batu.
2. Palebahan Pura Tengahing Segara
Pelinggih Telengin Segara
Di dalamnya hanya terdapat dua buah banguan: (1) Meru Tumpang 11 sebagai simbol stana Dewa Wisnu dan difungsikan pula sebagai pasimpangan Bhatara di Pucak Mangu (Gunung Pangelengan), serta difungsikan sebagai palinggih Ida Bhatara Dewi Danu. Pelebahan ini juga dikelilingi oleh air danau. Dalam teologi Hindu, filosofi Meru Tumpang Sebelas melambangkan Eka Dasa Aksara (Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang) atau simbol dari Sang Hyang Eka Dasa Ludra /11 Ludra dan juga simbol dari Andabhuana (alam semesta).
3. Palebahan Palinggih Lingga Petak/Ulun Danu
Pelinggih Lingga Petak / Ulun Danu
Adapun pada areal suci ini hanya terdapat sebuah meru bertingkat tiga yang di dalamnya terdapat sebuah sumur kramat yang menyimpan tirtha ulun danu. Di dalam sumur tersebut juga tertancap sebuah lingga semu besar berwarna putih dan diapit oleh dua batu hitam dan merah. Uniknya dari bangunan ini adalah Meru dan palebahan ini memiliki 4 pintu yang menghadap ke empat penjuru mata Angin (Utara, Timur, Selatan dan Barat) bataran ‘batur’ dari meru ini persegi delapan dan seluruh arealnya terdapat di dalam danau atau dikelilingi oleh air, sehingga bila tangkil ke pelinggih ini, harus menggunakan perahu.
Secara tradisi yang diterima oleh masyarakat Hindu dan krarna subak khususnya, palinggih ini difungsikan sebagi Ulun Danu danau Beratan dalam konteks memohon kesuburan dan kemakmuran dan sebagai palinggih Bhatara Siwa dengan kekuatan Cadu Sakti-Nya yang disimbolkan dari pemedalan yang menghadap ke empat penjuru mata angin.
4. Palebahan Pura Dalem Purwa.
Gedong Dalem Purwa
Keberadaan pura ini secara umum memiliki tiga buah bangunan yang seluruhnya menghadap ke Timur. Adapun pelinggih pokoknya berupa Gedong Dalem yang difungsikan sebagai stana Bhatari Durga dan Dewa Ludra atau Dewi Uma Bhagawati. Gedong ini diapit oleh Bale Murda Manik yang difungsikan sebagai pemaruman dan dikanannya tendapat bale panjang yang difungsikan untuk meletakan upakara pada saat piodalan.
5. Taman Beji
Terletak pada sisi Timur Hotel Enjung Beji, lerdapat sebuah palinggih Padma, tidak dibatasi dengan tembok panyengker. Tempat ini difungsikan untuk melakukan upacara ngabejiang dan memohon air suci pada saat piodalan dan pada sasih kesanga sebagai tempat melasti oleh masyarakat sekitar, seperti daerah Baturiti, Candikuning, Marga, Megwi dan beberapa daerah yang lain.
4. FUNGSI DAN STATUS PURA ULUN DANU BERATAN
A. Fungsi Pura ulun danu Beratan
Keberadaan suatu Pura pada awal pendiriannya sangat memiliki tujuan yang utama dalam pencetusan hati nurani yang terdalam suatu kelompok sosial yang religius, begitu pula khusus dengan Pura ulun danu Beratan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Umum.
Adapun fungsi Pura ulun danu Beratan secara umum adalah sebagai pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan berbagai Prabhawa-Nya. Dapat dibuktikan bahwa di Pura ini terdapat pelinggih Padma Sana yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dan panggih-palingih sebagai stana dan parabhawa-Nya yang beraneka ragam dan beraneka fungsi. Konsep keyakinan dan pembangunan tempat suci umat Hindu di Bali, tidak terlepas dari konsep Weda yang dijabarkan di atas. Walaupun Tuhan dilukiskan berbentuk dan memiliki stana, namun hakekat-Nya adalah tunggal dan menunggal dalam alam semesta. Begitu pula dengan keberadaan Pura ulun danu Beratan yang memiliki berbagai macam pelinggih dan berbagal fungsi pemujaan dan berbagal ritual keagamaan.
2. Fungsi Khusus.
Pura ulun danu Beratan memiliki beberapa fungsi yang sangat khusus dan jarang ada di Pura-pura yang lain. Adapun beberapa dari fungsi khusus Pura ini yaitu:
a. Sebagai Tempat Memohon Kemakmuran dan Kesuburan
Pura Pengulu atau Pura UIun Danu termasuk Pura ulun danu Beratan merupakan pemujaan bagi petani sawah yang sawahnya memperoleh air dari Danau. Sehubungan dengan itu, pada hari purnamaning kepitu krama subak yang berada di Kabupaten Tabanan bagian timur, Badung dan Kodya Denpasar selalu menghaturkan suinih pakelem dan nanggluk merana. Sejauh ini pura ini juga merupakan salah satu Kahyangan Jagat di Kabupaten Tabanan. Hubungan khusus antara Subak dengan Pura ulun danu Beratan sangat erat, mengingat Pura ini merupakan pusat/sumber air dan irigasi subak yang mengalir dari danau dan melewati sungai, bendungan, selanjutnya ke temuku masing-masing. Subak merupakan organisasi masyarakat petani dalam bidang pengairan di tingkat usaha tani. Sistem irigasi subak itu berlandaskan Tri Hita Karana (Siha, 2008: 53). lstilah subak keberadaannya sangat tua, bahkan dalam beberapa prasasti Bali Kuna, seperti: kata Kasuwakan (diidentikkan dengan kata subak), Huma (identik dengan sawah/uma dalam Bahasa Bali). Ser Danu (identik dengan Pekaseh) dan sebagainya.
Berkenaan dengan subak. secara sekala dan niskala berhubungan dengan pura ini, ada beberapa upacara yang dilakukan oleh krama subak yang bertujuan untuk memohon kesuburan. Daerah-daerah subak yang dialiri air dari danau Beratan mereka menghimpun kelompok-kelompok subak yang disebut pesedahan. Pasedahan inilah yang mewilayahi beberapa kelompok subak dan memungut iuran masing-masing kelompok subak yang nantinya digunakan untuk membiayayai upacara-upacara di danau ini. Adapun upacara-upacara yang dilakukan di Pura ulun danu Beratan terkait dengan subak yang biasanya dilaksanakan pada Purnamaning Kapitu (setiap satu tahun sekali), seperti: Nangluk Merana, Ngaturang Suinih dan Pakelem.
b. Sebagai Tempat Nyegara-Gunung Berhubungan dengan Dewa Yadnya
Upacara Nyegara Gunung yang berkaitan dengan Dewa Yadnya yang dilakukan oleh masyanakat di suatu Desa atau masyarakat keluarga tertentu. Upacara ini dilaksanakan jika baru saja selesai melakukan upacara besar seperti Ngenteg Linggih dan lain sebagainya, baik di Pura maupun di sanggah atau Merajan. Adapun pelaksanaannya yaitu: (1) Pralingga Ida Bhatara yang di-iring Nyegara Gunung dipundut ke Taman Beji Pura ulun danu Beratan dengan meakukan upacara pengening-ening, (2) Pralingga Ida Bhatara diusung ke Pura Dalem Purwa dan (3) Baru diusung ke Penataran Agung. Tujuan dari upacara ini untuk memohon dan permakluman atas upacara yang telah dilaksanakan semoga berhasil, yang ditujukan kepada Dewa Gunung dan Dewa Segara Danu. Karena pertemuan gunung (Iingga acala), sebagai lambang purusa dan danau sebagai ambang pradana diharapkan memberikan kemakmuran bagi masyarakat yang melakukan upacara besar.
c. Sebagai Tempat Maajar-ajar Berhubungan dengan Pitra Yadnya
Pura ulun danu Beratan difungsikan pula sebagai tempat upacara meajar-ajar oleh masyarakat, mengingat keberadaan Pura ini memiliki kreteria untuk dilakukannya upacara ini, terdapat sebuah Danau (Segara Danu) dan Gunung Pangelengan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dan merupakan Kahyangan Jagat. Adapun tujuan upacara ini menurut Wiana (2004: 152), maksudnya memohon kepada Tuhan dalam aspeknya sebagai Purusa (Dewa Gunung) dan dalam, aspeknya sebagai Pradhana (Dewa Segara) untuk memberikan berbagai ajaran atau ajah kepada Hyang Dewa Pitare. Upacara ini dilakukan setelah melakukan upacara Mamukur. Disamping itu bermakna bahwa Hyang Dewa Pitare yang baru saja kaadegang setelah upacara mamukur atau nyekah memohon pengajah-ajah ajaran kepada Dewa-dewa dan leluhur yang ada di gunung. Kepercayaan ini merupakan tradisi yang sangat tua. Tradisi ini kepercayaan kepada leluhur ini berasal dari kebudayaan prasejarah. Masyarakat prasejarah menganggap gunung merupakan tempat bersemayamnya roh suci leluhur. Setelah agama Hindu masuk, kebudayaan ini tidak serta merta ditinggalkan begitu saja, bahkan diadopsi karena hampir memiliki kesamaan dengan ajaran agama Hindu bahwa gunung adalah stana Dewa-Dewi.
d. Sebagai Tempat Mamitang Dewa Hyang
Upacara mamitang Dewa Hyang Pitare tidak bisa terlepas dengan konsep dasar keyakinan masyarakat Hindu di Bali yang berhubungan dengan jiwa atau Atman (Atma Sradha) yang merupakan salah satu bagian dari konsep Panca Sradha bahwa walau manusia telah meninggal, namun perjalannya belum selesai dan selanjutnya sang Atman diyakini menjalankan kehidupan yang sempurna dialamnya. Menurut keyakinan masyarakat di Bali bahwa roh orang yang meninggal masih terikat dengan keluarga yang ditinggalkan dan ada beberapa orang masih meyakini leluhurnya yang sudah di-aben dan di-sekah-kan secara niskala masih menghamba pada suatu Pura Kahyangan Jagat di Bali, seperti: Pura Besakih, Goa Lawah, Uluwatu dan sebagainya, termasuk pula Pura ulun danu Beratan. Kemungkinan konsep mamitang Dewa Hyang Pitara bersumber dari keyakinan masyarakat prasejarah juga.
e. Sebagai tempat Nunas Tirtha Pamuput.
Pura ulun danu Beratan difungsikan juga sebagai tempat memohon Tirtha pemuput. Tirtha ini dimohon apabila di suatu Pura yang diyakini memiliki kaitan dengan Pura ini atau perorangan yang melakukan upacara besar di sanggah/merajan. Pemakaian tirtha air suci dalam ritual Hindu, tidak terlepas dengan penggunaan yang sangat penting, bahkan konsep tirtha merupakan inti ajaran ritual agama Hindu Oleh karena itu, sampai-sampai Hindu Bali pernah disebut-sebut sebagai ”Agama Tirtha” agama yang megutamakan air suci di dalam melakukan suatu upacara keagamaan. Jenis tirtha pemuput upakara yang dimohon di Pura ulun danu Beratan adalah tirtha wangsuhpada Ida Bhatara yang dimohon oleh pamangku lewat memohon di depan pelinggih dan bukan tirtha yang “dibuat” oleh pemangku, karena pamangku ‘rohaniawan eka jati’ tidak berwewenang untuk membuat tirtha, tetapi hanya memohon. Lain halnya dengan pendeta Dwi Jati (Pedannda, Sira Mpu, Rsi Bujangga Waisnawa, Pandita Mpu, Rsi Agung dan lain sebagainya) berwewenang Ngarga tirtha ‘membuat air suci dengan mantra-mantra tertentu’, misalnya, tirtha panglukatan, tirtha pengentas dan sebagainya.
f. Tempat Melasti.
Pada sasih kesanga yang datang setiap tahun (dalam perhitungan tahun Saka), sebagian besar Desa Pakraman yang ada di Bali dan masyarakat Hindu yang ada diluar pulau Bali melakukan ritual melasti. Di dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala tujuan melasti sangat utama, yakni Anganyutaken laraning jagat. papaklesa letuhing bhuana, yang artinya: untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dari kekotoran dunia (alam), sedangkan di dalam lontar Sundarigama menambahkan Amet Sarining amerta kamandalu ritelenging Samudra, yang artinya: Untuk memperoleh air suci kehidupan ditengah-tengah lautan (Titib. 1993:16).
Khusus keberadaan Pura ulun danu Beratan berfungsi sebagaI tempat melasti atau mekiyis, biasanya masyarakat sekitar begitu pula masyarakat sekedesaan Antapan, Baturiti, Marga, Megwi dan sebagainya melakukan pemelastian empat hari sampai dua dua hari sebelum hari raya Nyepi (tahun baru Saka), Pada upacara ini, seluruh benda yang disakralkan dan disucikan, seperti arca pratima, nyasa atau pralingga serta perlengkapan yang lainnya seperti tedung, lelontek, umbul-umbul, payung rob-rob, payung pagut dan sebagainya diusung dan dibawa menuju Taman Beji Pura ulun danu Beratan. Setelah ritual inti pemelastian dilakukan di Taman Beji, selanjutnya benda-denda yang disucikan ini katangkilang dihadapkan di Pura Dalem Purwa dan Penataran Agung. Akan tetapi ada beberapa Desa Pakraman hanya melakukan ritual ini di Taman Beji tanpa nangkilang ke Dalem Purwa dan Penataran Agung.
g. Fungsi Usada
Masyarakat Bali yang sarat akan kearifan lokal yang mampu bersaing dengan kebudayaan modern, salah satunya adalah usada. Usada adalah sistem pengobatan tradisional Bali. Dari berbagai macam pengobatan yang ada di dalam lontar usada, terdapat salah satu sarana pengobatan yang sangat penting adalah air. Penggunaannya ada dimanfaatkan sebagai tutuh, minum, dan melukat ‘diguyur’, serta dicampur dengan ramuan-ramuan yang lain. Berhubungan dengan keberadaan Pura Ulun Danu Beratan yang terletak di tepi danau, Pura ini difungsikan oleh masyarakat Hindu sebagai tempat untuk melukat ‘menyucikan diri’. Melukat oleh sebagian pemedek sering dilakukan pada hari-hari tertentu seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Anggara Kasih dan hari-hari yang dianggap baik. Letak pura yang terdapat di tepi danau telah memungkinkan diadakan ritual penglukatan. Karena pengelukatan memakai sarana air sebagai sarana utama. Begitu pula oleh beberapa pemedek memohon tirtha sebagai obat berbagai macam penyakit
B. Status Pura Ulun Danu Beratan
Dilihat dari beberapa fungsi Pura Ulun Danu Beratan yang begitu kompleks, maka Pura ini berstatus sebagai Kahyangan Jagat, mengingat Pura ini adalah penyungsungan seluruh umat Hindu dan sebagai stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta berbagai prabhawa-Nya. Disamping itu, hubungan dengan subak juga dapat dikatakan memiliki status sebagai Pura Swagina (Fungsional), tempat berstana-Nya Dewa Kemakmuran.
Lampiran Foto :
Rayana & Dewa
0 comments:
Post a Comment