SEJARAH
TERBENTUKNYA PURA TIRTA KETIPAT
Pada
wuku Landep Sasih kasa, I Gst. Ngurah Jelantik telah merampungkan tugasnya
untuk mempersiapkan Jringan tentang Dasa bersama sejumlah keris, maka kembai di
gelar persidangan untuk melepas kepergian Kibarak putranya ke Denbukit.
Kyayi
Manca Warna selaku pemandu perjalanan diminta dalam menjaga keselamatan
cucunya. Ketika dilakukan pembagian keris,Terjadi keajaiban dengan terdapatnya
kelebihan bagi satu bilah keris walaupun pembagian dilakkukan berulang dan jika
di kumpulkan kembali akan tetap berjumlah empat puluh yang membuat Ida Dalem
tersandar. Disamping kelebihan keris kibarak pun diberikan sebuah tombak pusaka
bernama “Ki Pangkaja Tattwa” atau “Ki Tunjung Tutur” yang menyerupai tulup dan
pada ujungnya berisi tombak.
Ida
Dalem langsung menyerahkannya sambil berpesan kepada Ki Barak Putranya, Tombak
Ki Pangakaja Tattwa memiliki makna pengetahuan hakikat kehidupan Bunga Tunjung,
walaupun terlahir dari lumpur namun sangat disucikan, sedangkan tulup kelak
dapat berguna didalam menundukkan musuh-musuh dengan bidikan penuh
konsentrasi,tenang dan wicaksananya. (tulup=mapetitis atau mengarahkan bidikan
pada sasara yang tepat)
Untuk menemukan “lila” yang dapat menimbulkan intisari pekerti (Pakerti
Ninggesang atau Kegiatan Hidup) Ramening Gawe Sepi Ing Pamrih. Demikian
pemberian bekal senjata bukan hanya sekedar senjata-senjata dalam arti pisik
yang tertuang dalam wejangan melalui peristiwa, timbulnya nama keris Cacakan
Bang (Nama Dari Kumpulan Empat Puluh Satu Bilah yang Dibagi Secara
Berulang-ulang = Keris di Letakkan Berjajar atau me-cacar-an diambil satu per
satu oleh para pengiringnya= Ba-ang atau Diberikan ).
Setelah selesainya persidangan mereka mohon diri dan ketika itu umur
ke’ibarak baru berusia Rorastiban atau Empat Belas tahun Masehi, merupakan
perjalanan spiritualnya. Rombongan menuju kekarang Pepatihan Jelantik untuk
menjemput ibundanya (Ni Luh Sanjiwani) dan berpamitan mohon diri sekaligus
melaksanakan puspanjali di Pemrajan Jelantik.
Perjalanan awal menuju Samprangan kemudian ke Kawisunia yang merupakan
wilayah Bandana Negara sebelum melakukan pendakian alas Batunya yang merupakan
tupa dan endapan pakar Bulian dan Beratab Purba kira-kira sudah dua hari dan
dua Malam perjalanan menjelang siang di hari Sabtu Kliwon Landep dan kemudian
menuruni perbukitan kecil yang disebut Bukit Mungsu, rombongan memasuki
cekungan terkungkung Danau Beratan yang dikelilingi perbukitan Gunung Mangu
Pengelengan, Bukit Tapak Rangde Teratai Bang, mundukan danu bulian dan
perbukitan kecil lainnya melewati palembahan Candi Kuning yang dihuni oleh
Pande Beratan.
Ki
Lempyung yang berjalan selalu paling depan dengan menyandang tombak Ki Pangkaja
Tatwa dan Kidosot yang senantiasa mendampingi Ki Barak, mereka semua bersenang
bergembira dalam perjalanan panjang walaupun sangat melelahkan. Mereka terhibur
oleh keindahan bentangan alam yang ngelangenin (mungkin sulit untuk mereka lupakan
seumur hidupnya).
Kyayi
Manca Warna sebagai pemandu perjalanan meminta kepada cucunya Ki Barak untuk
beritirahat sekalian membuka perbekalan di dataran ujung perbukitan pucak Rsi
yang masih memiliki aliran airnya, namun Ki Barak menolak mungkin disebabkan
oleh keinginannya segera mendaki perbukitan di sebelah utara Danau Bulian.
Kyayi Manca Warna yang telah
memiliki kemampuan mampu hanya mengikuti kemampuan cucunya. Sesampainya di
dataran kecil di celah bukit mangu setelah pendakian palemahan watusaga (Watu
mejan) yang cukup terjal Kibarak pun meminta istirahat dan santap siang namun
sang kakek pergi mendaki puncak bukit yang hanya lagi belasan meter untuk
melakukan semadinya memohon kehadapan Hyang parwata Gunung Mangu agar cucu rombongannya
terlindungi dan dapat memperoleh keselamatan.
Mereka Lipia (lupa) bahwa bekal
airnya telah habis, dan berselang lama mereka pun mengalami cekutan (tersedak
berat) membuat Ibunda Pasek Sang Jiwani khawatir gugup dan secara reflek ia pun
berdoa singkat dan segera mencabut tongkat pangkaja Tatwa dekati Bukit sebelah
timurnya untuk dibawa turun ketepian Danau mencari air.
Keterangan : Menurut penuturan penglingsir Danu Benyah Pancasari; bahwa
pada akhir tahun 1960 (31 Desember 1960), pangkung yang ada di sepanjang kaki
bukit masih memiliki aliran air sehingga di Lalang linggah kira-kira masuk
sampai di ujung bukit ada yang disebut kayehan (pemandian), ketika terjadi
erosi atau banjir besar pada tanggal 31 Desember 1960 Dengan menewaskan 20
Orang penduduk Benyah, dan aliran air masih dapat dinikmati sampai akhir tahun
1971 kurang lebihnya seminggu setelah berakhirnya musin penghujan.
Mungkin sudah menjadi kehendak hyang Kuasa tiba-tiba dari lobang bekas
tancapan tpmbak muncul air kehidupan dengan sangat beningnya dan bersamaan
dengan redanya kekalutan Kyayi Manca Warna pun mengakhiri semedinya turun untuk
memberikan petunjuk dan nasehat karena sebagai calon pemimpin hendaknya selalu
eling dan waspada untuk bertapa (pengendalian diri lahir batin). Hari Sabtu Kliwon
Landep Merupakan payogan Ida Sang Hyang Pasupati.
Setelah melakukan doa-doa pemujaan keris cacaran bersama Tombak kilang
kaja Tatwa dimandikan kemudian dimohonkan pemberkatan untuk diperolehnya
kekuatan pasupati astra. Kekuatan yang dimiliki oleh sang Hyang pasupati atau
Tuhan Siwa Sangkar yang berstana di gunung mangu.
Semenjak itu keris cacaran milik Kibarak dicari nama “Ki Paru Semang”
karena ia telah memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakeknya membuat Ki Barak
Teguh pendirian dan tidak pernah ragu di dalam melaksanakan Swadarmanya.
Kemudian nama bukit digantikan menjadi bukit pang-eling. Setelah lama-
kelamaan disebut bukit pengelengan lan air pulakan dinamai Tirta Belah ketipat
sebagai ungkapan syukur kehadapan Bhatara Ibu Dewi Parwati sebagai istri Tuhan
Siwa yang disebutkan dalam pemujaan Ida Sang Hyang Manik Galih.
Tempat itu disucikan menjadi pura Tirta Ketipat namun wilayah pemukiman
penduduk sebagai pengempon pura di sebut Panjak Yeh Ketipat Desa Wanagiri
kecamatan Swukasada dan palinggih Parahyangan di bangun di atas bukit
pengelengan.
Setelah sore hari perjalanan di lanjutkan menuju Desa Gobleg dengan
menyusuri Puncak Perbukitan Mundukan Danau Bulian.dan tepat pada satu titik
ketinggian di pertengahan danau Bulian kebarat memberhentikan rombongannya.
Keterangan: Keberadaan Pulakan Tirta Ketipat ada dicelah Bukit
Pengelengan, pernah di lengkapi Stana pemujaan yang dibangun pada tanggal 12
Januari 1976 dan di upacara pemelaspas Ngenteg Linggih 1 Juli 1989
Keberadaannya Pernah ditanyakan oleh Ketut Sadra alias Bapak Kuat dari desa
Runuh,namun karena ketatnya aturan dapat dikatakan pembangunannya dipaksakan.
Setelah beberapa kali mengalami bencana dan yang terakhir kalinya tanggal 6
Februari 2002. Pengempon pura Tirta Ketipat memindahkannya kepuncak Bukit pada
tanggal 6 April 2002 seperti keadaannya sekarang.
Entah apa penyebabnya, kibarak merasa betah tinggal berlama-lama di
tempat ini. Ia termangu menyaksikan keindahan panorama senja kala itu.
Dikejauhan barat sana nampak gugusan Gunung Merapi, ijen dan Gunung Rau
terbentangi perairan laut selat Bali, kemudian ia menanyakannya kepada Sang
kakek dceritrakan, Negeri lambangan dan pasuruhan pernah menjadi kekuasaan
moyangnya, karena kesalahan Kyayi Ularan ia memperoleh hukuman buang kenenbukit,
dan kakek (Patih Werda Jelantik Bogol) gugur di Negeri Pasuruhan.
Tiada dinyana Kibarak pun berteriak pusteris, yang menyatakan bahwa
dikelak nanti menjadi penguasa nenbukit, ghumi blambangan akan dijadikan
jajahannya. Jeringan petang dasa semua dibuatnya terkejut mendengar “ ikrar ”
junjungannya.
Kyayi Manca Warna sangat menyadari gejolak hati cucunya, ia teringat akan
cakcan (cirri-ciri bawaan kelahiran) yang memiliki bulu gading (membulu gading
/ kuning keemasan) hanya merupakan perkecualian dari putra berdarah
bangsawan yang telah memperoleh panugrahan nialai-nilai spiritual dan memiliki
akil mulia.
LINGKUNGAN PURA TIRTA YEH KETIPAT
A. Lokasi dan Lingkungan Pura
Pura Tirta Yeh Ketipat secara administrasif terletak di Dusun Yeh Ketipat Desa
Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Pura ini sangat mudah
dijangkau dari jalan raya. Pura ini terletak di sebelah Timur jalan raya yang
menghubungkan jurusan Denpasar-Singaraja, sejenak setelah melewati Puncak akan
tiba di Pura Tirta Yeh Ketipat.
Konsep tata letak bangunan suci setidaknya dekat dengan sumber-sumber air tidak
terlepas dengan konsep tirtha ‘air suci’ yang telah mengakar dalam sendi-sendi
ajaran Hindu. Disamping itu, dekat dengan sumber-sumber air dapat memudahkan
untuk menambil air suci dan sekaligus melindungi sumber-sumber air tersebut
dari tindakan yang tidak diharapkan dalam teo-ekologi Hindu. Dalam terminologi
Hindu, air merupakan simbolisasi dari kesucian, kesuburan dan pembersihan. Air
sangat penting diperlukan dalam berbagai tingkatan ritual keagamaan. Oleh
karena itu, Bali sering disebut agama tirtha ‘air suci’, karena dalam berbagai
ritual keagamaannya, peran kehadiran air sanagat penting.
Disamping itu, lingkungan di sekitar Pura Tirta Yeh Ketipat sangat asri dengan
latar belakang pegunungan, tanaman bunga, padang hijau yang tertata rapi dan
menambah keindahan tersendiri.
B. Letak Geografis
Keindahan dan bentangan alam yang unik, telah ikut melatar belakangi
terbentuknya imajinasi para Rsi dahulu untuk mendirikan pura ini dengan
strukturnya yang khas. Kawasan ini termasuk daerah dataran tinggi berhawa
sejuk. Secara geografis Pura ini terletak di tengah-tengah pulau Bali dan
dikelilingi oleh perbukitan. Adapun batas-batas dari Pura Tirta Yeh Ketipat
adalah :
a. Bagian Utara adalah Desa
Pakraman Git-git
b. Bagian Timur adalah hutan
c. Bagian Selatan adalah
perbukitan
d. Bagian Barat adalah pucak
Letak sebuah Pura ini dikelilingi oleh perbukitan, boleh jadi menginspirasikan
para pendahulu untuk mendirikan Pura di tempat yang memiliki aura spirit yang
tinggi ini.
1.
Struktur Masyarakat Pura
Berpedoman dengan status umum (Kahyangan Jagat) dari Pura Tirta Yeh Ketipat,
sudah tentu penyungsung pura ini memiliki jangkauan yang sangat luas. Adapun
masyarakat yang menjadi pendukungnya ialah :
Pangempon Pura Tirta Yeh
Ketipat
Pengemong Pura yang dimaksud adalah sekelompok warga penyungsung yang
berkewajiban untuk memprogramkan, merencanakan dan melaksanakan pelaksanaan
(Ngayah) secara penuh atas upacara dan upakara piodalan yang jatuh setiap enam
bulan sekali dan bertanggung jawab atas pemeliharaan fisik Pura. Secara khusus
istilah masyarakat Pengemong atau Penyungsung Pura Tirta Yeh Ketipat disebut
dengan Pesatak atau Gebog Satak. Gebog satak merupakan sistem kemasyarakatan
kuna yang berkewajiban memelihara dan mempersiapkan yadnya pada sebuah pura
yang cukup besar atau pura Kahyangan Jagat yang kuna.
Yang menjadi pangempon di Pura
Tirta Yeh Ketipat terdapat dua Desa Pakraman yang bertanggung jawab atas pura
tersebut yaitu Desa Pakraman Wanagiri dan Amerta Sari.
Penyiwi Bhakti
Penyiwi bhakti yang dimaksud adalah masyarakat secara umum yang datang pedek
tangkil ke Pura ini dengan penuh rasa bhakti kepada Ida Bhatara yang berstana
di Pura Tirta Yeh Ketipat. Namun apara pemedek tersebut tidak terikat langsung
dengan ayah-ayah atau kewajiban yang ada dipura.
Adapun secara
terperinci struktur palinggih dan bangunan pelengkap keagamaan di Pura Tirta
Yeh Ketipat terdiri dari beberapa pelinggih Suci yaitu Padmasana, Gedong
Sesuunan Pucak Luhur Tirta Yeh Ketipat, Meru Tumpang Pitu Sejarah Panji Sakti,
Naga Basuki, Sedan Pangenter, Patih Agung, Gedong Penyimpenan Tirta.
Secara terperinci struktur palinggih dan bangunan pelengkap keagamaan di
Pura Tirta Yeh Ketipat terdiri dari beberapa pelinggih Suci yaitu
Padmasana, Gedong Sesuunan Pucak Luhur Tirta Yeh Ketipat, Meru Tumpang
Pitu Sejarah Panji Sakti, Naga Basuki, Sedan Pangenter, Patih Agung, Gedong
Penyimpenan Tirta dan lainnya.
1.
Pemedal
Pura Tirta Ketipat
Tempat untuk memasuki kawasan Pura Tirta Ketipat
2.
Pelinggih
Padmasana
Adapun posisinya menghadap
keutara, di bagian depannya terdapat piasan sebagai tempat menaruh banten pada
saat piodalan. Yang berstana di tempat ini merupakan Ida Nyoman Sami, Fungsinya
sebagai penghayatan.
3.
Gedong ida betara Sesuunan Pucak Luhur
Tirta Ketipat
Di sebelah barat padmasana terdapat sebuah Gedong Sesuunan Pucak Luhur
Tirta Ketipat. Sane melinggih Ida Betara
Penglisir pura Tirta Ketipat, fungsinya untuk ngastiti pujawali.
4.
Meru
Tumpang Pitu
Sejarah sesuunan ida betara panji sakti pemeran ida ring meru. Sebagai
pemujaan ilmu pengetahuan.
5.
Naga Basuki
Ida betara ring besakih eka dasa ludra mengenah. Fungsinyane naga basuki.
6.
Sedan Penganter
Fungsinyane genah perancang-perancang Ida.
7.
Pura Beji
Terletak pada sisi Timur Pura Tirta Yeh Ketipat, terdapat pura beji.
Tempat ini difungsikan untuk melakukan upacara ngabejiang dan memohon air suci
pada saat piodalan dan pada saat pujawali tempek landep. Sebagai tempat
pengambilan tirta oleh masyarakat sekitar seperti daerah wanegiri dan amerta
sari.
8.
Piasan pebaktian
Terletak
di depan pura tirta yeh ketipat.
9.
piasan pelinggih ida petang dasa
Terletak
di depan pelinggih padmasana di pura tirta yeh ketipat
10. candi
bentar
Terletak di Sebelum tempat
memasuki Pura Tirta Yeh Ketipat.
11. penganteb
jero mangku
Terletak
di depan Gedong ida betara Sesuunan
Pucak Luhur Tirta Ketipat dan Meru Tumpang Pitu.
Yudi & Handi
0 comments:
Post a Comment