Pages

Sunday, November 9, 2014

Pura Negara Gambur Anglayang

Pura Negara Gambur Anglayang mungkin belum banyak diketahui keberadaannya oleh umat Hindu baik yang berada di daerah Buleleng maupun umat Hindu di daerah Bali lainnya. Apalagi umat Hindu yang keberadaannya di luar pulau Bali. Bahkan hingga saat ini belum perhan diketemukan tertulis secara jelas pada prasasti-prasasti yang ada Namun dalam perkembangannya mulai banyak dikenal dan dikunjungi oleh umat Hindu.
Pura Negara Gambur Anglayang adalah pura yang cukup tua keberadaannya di wilayah desa pakraman kubutambahan yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakan / umat dan desa pakraman kubutambahan khususnya, bahkan sekarang mulai berdatangan umat di Bali bahkan luar Bali dan Tokoh-Tokoh dari umat lain untuk melakukan persembahyangan di pura ini. Pura Negara Gambur Anglayang yang hingga saat ini diempon oleh 364 krama ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Pura Puseh Penegil Dharma / Penyusuhan yang juga berada di wilayah desa pakraman Kubutambahan. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan pelinggih pucaking tirta yang ada di areal petirtan Pura Puseh enegil Dharma / Penyyusuhan, dimana pada saat piodalan tertentu wajib untuk nunas / mendak tirta di pura tersebut. Namun sayangnya kondisi pura seperti bentuk fisik pura, luas areal, dan penataan sarana yang lain masih memprihatinkan.

Walaupun keberadaan pura , hingga saat ini belum diketemukan tertulis secara jelas / maksimal pada  prasasti-prasasti yang ada, ada baiknya kami tampilkan beberapa sumber-sumber tulisan yang menyangkut keberadaan pura tersebut.
Wilayah Bali Utara, khususnya kubutambahan, menyimpan bukti-bukti sejarah berupa situs-situs tua. Diperkirakan paling tidak abad ke XIII, telah terjadi kehidupan yang bersifat multicultural untuk ukuran saat ini. Sebagai buktinya, sebuah pura di pinggir pantai utara pulau bali, di wilayah kubutambahan , yang bernama Pura Negara Gambur Anglayang. Geografis pulau Bali menyerupai annatomi seekor unggas, lebih tepatnya seekor ayam. Dan dalam anatomi itu, Bali  Utara tepat berada pada sepanjang punggung ayam (gigir manuk). Dalam kaca mata spiritual, daerah punggung, sepanjang sumsum tulang belakang terdapat simpul-simpul cakra, jalurjalur simpul kekuatan untuk membangkitkan tenaga spiritual tertinggi, kundalini. Konsep kundalini itu agaknya terasa pas dengan realitas keberadaan daerah tersebut. Bahwa di wilayah Bali Utara, seolah-olah terdapat titik-titik spiritual yang menyerupai simpul-simpul cakra itu, yang secara fisik sepanjang wilayah itu tersebar pura-pura peninggalan kuno dengan satu pura sebagai sentral. Daerah ini menjadi menarik, karenakawasan Bali Utara, sepanjang pantai utara, terletak desa-desa kuno, yang hingga kini relative masih murni, belum terlalu terkontaminasi kehidupan modern yang sangat profane. Situs-situs tua itu sangat berbeda dengan situs-situs di Bali Selatan. (Ngurah Paramartha, Menemukan Kembali Konsep Multikultural di Bali).
Apabila kita memperhatikan secara seksama, bentuk pulau Bali menyerupai bentuk seekor itik dengan posisi kepala menghadap ke barat, punggung menghadap ke utara, ekornya menghadap ke timur, perut bagian bawah serta dada ke selatan. Sedangkan bila kita meneropongnya dari sisi spiritual, pada punggung (gigir manuk) ada satu jalur penghubung sepanjang sumsum tulang belakang yang dikenal dengan istilah kundalini. Penjelasan secara jspiritual terseubt lebih menyakinkan bahwa bali bagian utara yang menggambarkan gigir manuk tersebut terdapat tempat-tempat suci yang mempunyai nilai magis yang sangat tinggi. Bila kita menelusuri dari segi geografis, di daerah punggung yang menghadap utara pulau Bali yang dikenal dengan istilah Gigir Manuk, tak ubahnya sebuah daerah yang menonjol ke laut yang merupakan tanjung utara pulau Bali. Di daerah yang menonjol inilah diduga dulunya terdapat subauh laguna. Dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan jenis tanah yang ada antara tanah disebelah selatan jalan raya dengan jenis tanah yang ada di utara jalan raya. Jenis tahan di sebelah utara jalan merupakan tanah endapan lumpur / sedimentasi sedangkan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya merupakan jenis tanah batuan. Uraian di atas salah satunya bisa membuktikan bahwa memang daerah tersebut merupakan danau yang sangat luas yang bermuara ke laut sehingga disebut Laguna Adapun tempat dimana pertemuan laut dan danau itu sekarang merupakan Pura Negara Gambur Anglayang.
Pura Negara Gambur Anglayang pada zamannya merupakan pusat perdagangan yang dikelilingi oleh benteng yang disebut Kuta Baning (Benteng Perang), tempat dimana terjadinya transaksi dagang dan merupakan tempat pembauran / kolaborasi antara budaya yang dibawa oleh pedagang – pedagang dari Melayu, Cina, Babelonia, Pasundan, India, Atena serta pedagang dari belahan bumi lainnya. Pusat perdagangan ini di bawah pengawasan Ratu Ngurah Kertha Pura dengan dibantu penasehat Administrasi Pabean yang dikenal dengan Ratu Agung Syahbandar. Beliau adalah salah seorang Panglima saat dinasti Sung berkuasa di daratan Tiongkok yang diperbantukan untuk membantu Raja Nara Singa Murti mengelola pelabuhan dan administrasi Pabean. Keberadaan pura inilah merupakan penerapan dari agama yang merupakan satu tujuan, tempat dimana agam dan penganut agama berkumpul dan bersatu Kuta Baning sebagaimana tersebut di atas mempunyai arti, sebuah tempat yang dikelilingi dengan benteng yang berfungsi sebagai pengamanan oleh karena daerah tersebut merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan. Tempat inilah yang keberadaannya sekarang sebagai salah satu pura pesanakan Padma Bhuwana Kahyangan dengan nama Pura Negara Gambur Anglayang. Padma Bhuwana Kahyangan yang dibangun oleh Nara Singa Murti berpusat di Pura Puseh Penegil Dharma,, terdiri dari Pura Puseh Penegil Dharma, Pura Negara Gambur Anglayang, Pura Pingit, Pura Maduwe Karang, Pura Patih, Pura Dalem Puri, Pura Pande, Pura Sang Cempaka dan Pura Candra Manik. Pura ini merupakan lambing dimana agama meruakan satu tujuan. (I Made Ngadeg, Sejarah Singkat Desa Kubutambahan, disampaikan kepada Tim Konservasi Pura diluar Sadkhayangan dan Khayangan Jagat Kabupaten Buleleng, 2002).
Demokrasi dan Toleransi dari Pura Gambur Anglayang.

Daerah Pantai Utara Panturan Bali terutama di bagian timur, terdapat banyak situs yang bisa dijadikan semacam cermin untuk melihat wajah manusia Indonesia di masa lalu Wajah manusia yang beragam-berbeda suku agama dan ras namun mereka tetap hidup dalam satu ruang yang damai rukun dan aktif. Dan situs-situs itu bangsa Indonesia bisa belajar tetang Interaksi social, budaya dan kerukunan antarmanusia. Salah satu di antaranya adalah Pura Negara Gambur Anglayang yang berlokasi di Desa Kubutambahan, Buleleng. Seperti apa kearifan peradaban masa lalu yang bisa dipetik dari pura ini. Khususnya dalam konteks menciptakan kedamaian dan keutuhan bangsa.

SETELAH bom meledak di Legian. Kuta. 12 Oktober lalu, banyak kalangan cemas jangan-jangan konflik horizontal juga turut meledak di Bali, seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Palu dan lain-lainnya, yang akhirnya bisa meluluhlantakkan, tanpa sisa, seluruh tatanan kehidupan ekonomi dan social. Namun apa yang dicemaskan tak pernah terjadi. Masyarakat Bali – masyarakat yang hidup di Bali dari suku, agama dan ras mana pun mereka berasal, malah bahu-membahu menanggulangi bencana dahsyat itu.

Tentu saja, masyarakat Bali sesungguhnya telah belajar banyak dari kearifan masa silam, misalnya bagaimana hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang tertera dalam situs-situs purbakala. Salah satunya adalah situs yang terukir pada Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di pura itu terdapat delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsure keberagaman dalam sebuah ruang damai. Ada pelinggih Ratu Bagus SUndawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsure ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsure Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsure Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsure Islam. Belakangan dalam pura itu juga dibangun sebuah padmasana.

Pura itu terletak di tepi Pantai Tebaning, Kubutambahan. Tebaning berasal dari kata Kuta dan Baneng. Kuta berarti benteng dan baning berarti batu-bata. Dulu, sekitar abat ke-13 Kubutambahan merupakan sebuah benteng di sebuah laguna atau danau yang luas. Informasi yang dikumpulkan dari tokoh masyarakat setempat, seperti Drs. Putu Armaya. Bendesa Adat Jero Warkandia dan Ngurah Paramartha, budayawan yang sejak tahun 1990-an aktif meneliti keberadaan pura-pura di Kubutambahan, menyebutkan Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 (abad ke-130). Saat itu, Kubutambahan merupakan tempat di mana laut bertemu dengan sebuah danau. Tepat di titik pertemuan laut dan danau itulah sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di lokasi itu, dahulu merupakan pelabuhan dagang yang dinamakan Kuta Baning. Pelabuhan dagang itu dikelilingi benteng untuk pengamanan karena merupakan pusat perdangan seluruh Nusantar. Sebagai pusat perdangan, daerah ini didatangi berbagai jenis manusia dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda.

Karena tempat itu diperaya bisa member mereka kehidupan, berbagai manusia berlainan keyakinan dan kepercayaan itu membangun sebuah pura. Pura ini merupakan lambing dimana agama dipercaya sebagai satu tujuan manusia, dari mana pun ia berasal. Pura Negara Gambur Anglayang hanyalah salah satu dari situs yang tersebar di wilayah Buleleng Timur. Ada delapan pura lagi yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan pura Gambur Anglayang, yakni Pura Puseh Penegil Dharma, Pura Pingit, Pura Meduwe Karang, Pura Patih, Pura Dalem Puri, Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik. Semua pura ini memiliki kaitan yang tak bisa dicerai-beraikan. Berdirinya pusat spiritual ini bisa dilacak mulai dari abad ke-9 ketika rombongan Sri Kesari Warmadewa melakukan perjalanan dari Prambanan-Kahuripan terus ke ujung Pulau Jawa atau Prawali yang kemudian dikenal dengan nama Bali. Perjalanan itu dilakukan karenan ia sangat meyakini adanya nur (sinar) Tuhan di ujung timur Pulau Jawa itu. Sampailah warmadewa di sebuah laguna atau danau yang sangat luas yang  mempunyai muara ke laut, tempat dimna nur Tuhan itu diyakini berada. Tempat itu disebut kawista atau kawi prayaseita. Lokasi itu tak lain di Buleleng Timur.

Di tempat itulah Raja Sri Kesari Warmadewa, membangun istana sebagai pusat pemerintahan dan pusat agama. Sri Kesari Warmadewa kemudian mengangkat Resi Markendiya menjadi Kuturan atau Senapati Kuturan, sebagai penasihat spiritual raja. Sebagai pusat dagang, pemerintahan dan spiritual, kerajaan itu banyak didatangi orang dari berbagai daerah lain, bukan hanya di Nusantara, juga dari Melayu, Cina, Babilonia dan lain-lainnya. Jejak-jejak sejarahnya tersebar dalam situs-situs pura di Kubutambahan, serta masih banyak lainnya yang belum bisa diungkapkan.

Seperti apa pun perjalanan sejarahnya situs Pura Gambur Anglayang bisa member pelajaran penting tentang kerukunan yang terjadi di masa lalu. Tak ada konflik ras, agama atau suku. Segalanya disatukan dalam ruang damai. Balikan budayawan kondang Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang sempat mengunjungi pura itu baru-baru ini tak bisa menyebunyikan rasa takjubnya. Ketika menyaksikan delapan pelinggih penting itu. Ia lantas berujar lantang Pemimpin-pemimpin  Indonesia harus belajar dari Pura Gambur Anglayang di Kubutambahan ini.

Di pura itu Cak Nun mengaku melihat adanya kearifan nenek moyang yang harus ditiru. Nenek moyang kita, katanya jauh sebelum mengenal istilah demokrasi dan toleransi ternyata telah menciptakan suatu masyarakat demokrasi dengan toleransi yang tinggi. Tanpa tujuan muluk-muluk meraka telah menyatukan keberagaman dalam sebua ruang kehidupan social dan spiritual yang tinggi.
Emha bahkan berani menyatakan. Pura Gambur Anglayang ini merupakan perwujudan masa depan Indonesia. Masa depan Indonesia, katanya telah tergambar dalam pura tersebut. Untuk itu Cak Nun mengundang para pemimpin Indonesia utnuk dating ke Kubutambahan, belajar tentang kerukunan dan masyarakat madani dan Dataran Cina.

Dilihat dari luar. Pura Gambur Anglayang tidak memiliki keunikan yang berbeda ketimbang pura lain di bali. Ia juga memiliki penyengker dan bangunan-bangunan pelinggih yang motifnya juga tak jauh berbeda dengan ukiran pura lain di Bali. Yang unik hanya nama-nama pelinggihnya yang mecerminkan berbagai suku dan agama di dunia.
Ngurah Paramariha menjelaskan, pura itu telah mengalami perbaikan berkali-kali. Stiap kali terjadi perbaikan, pura itu juga mengalami perubahan arsitektur sesuai dengan zamannya. Saat ini, bentuk dan pembagian ruang pura itu disesuaikan dengan arsitektur Bali umumnya. Hanya saja, beberapa symbol dari agama-agama tertentu tetap dibiarkan menjadi cirri khas pura itu. Misalnya, pada pelinggih Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas tetap terdapat symbol-simbol Cina. Bahkan pada bangunan piasan khusus untuk Ratu Syahbandar terdapat lukisan perahu yang sedang bergerak di tengah laut. Lukisan itu  menunjukkan perjalanan Ratu Syahbandar dari daratan Cina ke Kubutambahan. Selain itu, pada pelinggih Ratu Bagus Melayu masih terdapat ukiran-ukiran khas Melayu yang kini banyak ditemui di daerah Jambi dan Riau.

Menurut Paramartha, seluruh pelinggih itu dipuja oleh seluruh warga Kubutambahan, tanpa membeda-bedakannya. Selain itu, beberapa warga keturunan juga banyak melakukan pemujaan ke pura tersebut.

*Adnyana Ole 
Source : BaliPost

Dokumentasi Pura Gambur Anglayang






























Dian & Adi

0 comments:

Post a Comment