Pages

Sunday, November 9, 2014

Pura Pulaki

SEJARAH PURA PULAKI 

Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya.

Pura Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah. 
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa. 
Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.









LOKASI PURA PULAKI




Pura Agung Pulaki adalah salah satu pura dengan aura religius yang ditemani keindahan alam memukau. Lokasinya berada di atas tebing berbatu menghadap langsung ke laut dengan pemandangan sekitanya menawan dan berlatar belakang bukit berbatu terjal. Pura suci ini terletak di Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Provinsi Bali, tempatnya cukup strategis sebab berada di pinggir Jalan Raya Singa

Di sekitar lingkungan Pura Agung Pulaki, terdapat beberapa warung kecil serta sejumlah fasilitas berupa penginapan. Area parkir Pura Pulaki juga terbilang luas dan memadai
Pura Agung Pulaki berjarak sekira  132 km dari ibu kota Denpasar, melalui jalur Denpasar–Bedugul–Singaraja.  Pura ini berada tepat di pinggir Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk sehingga sangat mudah dicapai dengan berkendara. Terdapat area parkir luas bagi pengunjung pura
Dari Singaraja, Pura Agung yang semakin megah setelah direnovasi ini berjarak sekira 53 km sebelahPura Agung Pulaki berada di titik strategis, yaitu di tepi Jalan Raya Singaraja - Gilimanuk. Oleh karenanya, pura ini kerap disinggahi pedagang dan pengusaha serta masyarakat lainnya yang kebetulan melewati jalur tersebut. Mereka bersembahyang memohonkan kemakmuran ekonomi dan kelancaran usaha perdagangan Terletak di atas tebing yang menghadap langsung ke lautan lepas.


BABAD PURA PULAKI




Pura ini berlokasi di desa Pemuteran yaitu di sebelah timur Sumberkima Buleleng. Dari jalan raya masuk ke arah selatan kurang lebih 300 meter. Pura ini terletak di kaki perbukitan yang di kanan kirinya tumbuh tanaman jagung milik para petani setempat. Pada musim hujan bukit di belakang pura tampak menghijau. Di sebelah kanan tempat parkir kendaraan ada semacam tempat mandi atau mengambil air dan juga dilengkapi dengan WC umum.
Pura ini tidak begitu besar pun tidak terlalu kecil. Desain pura yang menawan oleh seorang arsitek terkenal yang juga mendesain Art Center di Denpasar adalah Ida Bagus Tugur. Warna batu pelinggih yang dominan putih seolaholah menyatu dengan bukit yang ada di belakangnya. Di sekitar pura agak ke belakang terdapat tempat latihan tempur TNI yang pada bulan-bulan latihan agak mengganggu suasana keheningan untuk bersembahyang. Memasuki gerbang dari Pura Pemuteran pertama kita akan menjumpai pebejian di sebelah kanan kita, Pebejian ini berlokasi pada jaba tengah dari pada pura Pemuteran. Halaman ini penuh dengan bunga-bunga yang ditanam oleh prajuru di sana. Terdapat juga Bale Gong di halaman jaba tengah ini.
Untuk masuk ke jeroan kita lewat di depan Bale Gong ini, dan kita akan menjumpai para Jero Mangku yang selalu siap untuk menuntun umatnya untuk bersembahyang di sana. Ada Jero Mangku Surata sebagai Pemangku Gede di sana di samping ada dua Jero Mangku penyade untuk membantu umat menghaturkan bakti. Pura Pemuteran adalah Pura di mana kita akan melakukan pengelukatan untuk menghilangkan kelethehan yang melekat pada diri kita sebelum melakukan serangkaian persembahyangan di wilayah Pulaki. Untuk melakukan pengelukatan sebaiknya kita 
persiapkan Banten Pejati dan tegen-tegenan untuk pengelukatan. Untuk niat ini sebaiknya dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan Jero Mangku di sana.
Sebelum pengelukatan dilakukan kita diwajibkan untuk melakukan Panca Sembah dan setelahnya dipersilahkan ke jaba sisi untuk melukat. Di pebejian telah siap air untuk melukat yang telah dicampur dengan tirta pengelukatan yang dibuat oleh Jero Mangku. Sekarang siap untuk melakukan pengelukatan, semua destar dan baju safari sebaiknya dibuka. Alangkah baiknya jika kita memakai baju kaos dalam sehingga tidak bertelanjang dada. Untuk para wanita disarankan untuk tidak memakai sanggul sehingga dengan mudah rambut diurai seperti layaknya keramas.

Tiwi & Desi

0 comments:

Post a Comment