Pages

Sunday, November 9, 2014

PURA TULUK BIYU BATUR



Pura Tuluk Biyu atau yang sering disebut Pura Batur Kanginan ini berdiri megah di sebelah selatan Pura Ulun Danu Batur di pinggir jalan Denpasar Singaraja lewat Kintamani.Pura Ulun Danu Batur dan Pura Tuluk Biyu pada mulanya berada di Desa Batur di bawah lereng Gunung Batur.Saat berada di bawah Pura Tuluk Biyu ini letaknya memang disebelah Timur Pura Ulun Danu Batur yang berada disebelah Utara Pura tuluk Biyu sekarang ini. Saat Bali diserang gempa yang sangat dasyat yang juga disebut jaman ”Gejer” Pura Ulun Danu Batur dan juga Pura Tuluk Biyu dan juga Pura-Pura lainnya di Bali banyak yang hancur berantakan. Untuk membangun kembali di Pura yang hancur tersebut maka Pura yang hancur di bawah kaki Gunung Batur itu lantas dibangun kembali di tempatnya yang sekarang di pinggir sebelah timur jalan Kintamani menuju Singaraja dari Denpasar.Karena itu Pura Ulun Danu Batur dan Pura Tuluk Biyu dewasa ini berjejer di timur jalan Kintamani Singaraja.
Pura Tuluk Biyu ini tergolong Pura Dewa Pratistha.Artinya yang menjadi pusat pemujaan di Pura Tuluk Biyu ini adalah Tuhan sebagai Bhatara Siwa Giri Natha beserta dengan Saktinya yaitu Dewa Uma Parwati.Bhatara Siwa Giri Natha beserta dengan Saktinya inilah sebagai Ista Dewata tertinggi yang di puja di Pura Teluk Biyu ini.Di pura ini memang ada beberapa pelinggih untuk memuja Dewa Pitara atau roh suci leluhur seperti adanya beberapa Pelinggih untuk memuja Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Antara lain: Pelinggih Ida Ratu Maspahit Ida Ratu Dalem Majelekah, Majelanggu.


A. SEJARAH PURA TULUK BIYU BATUR

PURA TULUK BIYU (PURA BATUR KANGINAN DULU DAN SEKARANG

Seperti yang telah dikemukakan, bahwa bersamaan dengan semakin maraknya hidup dan kehidupan beragama pada era sekarang di kalangan masyarakat umat hindu di Bali pada khusunya, sejalan dengan iklim kehidupan beragama  seperti itu, memang patut di antisipasi dengan usaha penginformasian, pengkondisian, melalui uasaha penggalian dan pengungkapan berdasarkan sumber-sumber yang komperehensip oleh pihak-pihak instansi, badan, majelis yang berwenang dan berkompeten. Menimak kenyataan proses iklim kehidupan keagamaan yang seperti ini usaha yang telah di kemukakan itu memang telah di rintis sejak dulu walaupun di akui atau tidak, agak terlambat. Tetapi selaras dengan ajaran sanata dharma itu sendiri , usaha mulia seperti itu, tidak ada terlambatnya. Karena sejak antara tahu 1960-1970, penginformasian dan pengkondisian tentang aspek-aspek agama, penerbitan brosur agama, walaupun setensilan saja , oleh instansi dan majelis yang terkaiy, bersama-sama dengan para pemuka agama hindu dan para prajuru adat, di desa-desa adat bali. Para tenaga penyuluh agama hindu waktu itu, atau sejenis dharmadhuta  pada era sekarang, datang dan memondok di desa-desa adat di Bali. Para tenaga penyuluh agama hindu ini yang pada umumnya berasal dari guru-guru daerah, betul-betul melakukan pengabdian tanpa honor, tanpa SPJ, seperti galibnya pelaksanaan penyuluhan agama hindu pada era sekarang. Konsumsi para penyuluh agama hindu ini pun selama pelaksanaan Penyuluhan Agama Pangasraman  di salah satu Desa Adat di Bali., pada umumnya diurus oleh Bendesa Adat bersangkutan, yang sumbernya secara gotong royong berasal dari Krama Desa Adat yang bersangkutan. Peserta penyuluhan agama hindu pada waktu itu pada umumnya adalah para sesepuh desa adat yang terdiri dari para prajuru desa adat, para pemangku dan fungsionaris  agama lainnya, seperti Sangging, Undari, Manchagra, Juru Gambel, Pragina, Tukang Ebat, sehingga materi penyuluh agama, walaupun hanya merupakan hasil usaha sendiri cara tenaga penyuluh agama sendiri pada waktu, dengan munuh sana, munuh sini dari para Wiku, Sang Wikan sane sampun tasak masasatrra bahkan dari peserta penyuluhan itu sendiri, yakni para pemangku yang hadir dalam pelaksanaan penyuluhan pengasraman pada waktu itu. sehingga materi yang diungkapkan dan dijabarkan pada waktu itu, menjadi pas dengan sikap hidup orang bali, saat nyanggra miwah midabdabin pakibeh pamargi ring desa pekraman. Pelaksanaan penyuluhan agama pengasraman pada waktu itu semakin tambah pas lagi, karena dengan sistem dan metode penyuluhan agama yang telah di kemumukan, terjadialah komunikasi dua arah antara tenaga penyuluh dengan peserta penyuluh pengasraman sehingga terjadi usaha saling mengisi. Lama-kelamaan dengan menggunakan sistem dan methode seperti itu para tenaga penyuluh menjadi semakin kaya pengetahuan karena melalui dharmatula, didapatkan pelaksanaan hidup dan kehidupan beragama yang betul-betul berdasarkan Adagium desa, kala, patra dan negara mawa tata serta, serta desa mawa cara. Sehingga melalui pendalaman materi-materi yang telah di dapatkan di lapangan dengan komparatif study melalui berbagai litelatur keagamaan, terutama yang bersumber kepada konsep ajaran agama seperti yang tertulis pada rontal;-rontal Weda, yakni Mantra, Puja, Sthawa, dan masalah-masalah pamuput upacara. Termasuk pula mempelajari rontal-rontal agama , yang memuat tentang hukum-hukum agama hindu (Dharmasastra) dan ajaran tata susila  agama hindu. Yang masih selaras, atau sekaligus untuk lebih memantapkan dan mematangkan pengetahuan dan penguasaan materi agama bagi para penyuluh itu, mereka juga mempelajari rontal-rontal wariga, yang memuat tentang astrologi (ilmu perbintangan), tutur, kandha, usada, dll.
Yang tak kalah pentingnya di pelajari adalah rontal-rontakl itihasa, yang sebenarnya tergolong Upaweda, yang juga di sebut Weda Pwmbantu atau Weda Tambahan, yang temasuk sumber ajaran ini adalah Saptakanda Ramayana. Sang Hyang Astadasaparwa, berbagai visi dan versi rontal-rontal Siwagama, yang secar pantheon, banyak mengungkapkan cerita-cerita dewa-dewa di khayangan (sorga).Sistem dan method pengungkapannya, di samping banyak yang berbentuk prosa. Tetapi lebih dominan dalam bentuk kakawin (sekar gede), kidung sekar madya, geguritan (sekar alit), bahkan khusus untukporsi anak-anak banyak juga sistem method penyampainnya dalam bentuk sekar (tembang) rare atau tembang jejangeran, juga untuk memperkaya penguasaan materi ajaran agama hindu, para penyuluh juga banyak mempelajari Usana, Purana, (bukan pure puranic), yang berarti cerita-cerita lama, yang pada umumnya secara phanteon, hampir dekat isinya dengan berbagai visi dan versi rontal Siwagama yang telah di kemukakan, yakni tentang adisrsti (cipta, babad, yang oleh para ahli dapat pula di kemukakan sebagai sumber sejarah dan bishama-bhisama, walau pun pengungkapan, kajian dan analisinya harus lebih berhati-hati kalau di bandingkan dengan meniti dan berpijak kepada sumber prasasti (tamra prasasti), yang merupakan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran sejarahnya.
Selanjutnya untuk lebih melengkapi dan memperluas penguasaan materi ajaran agama hindu, para penyuluh juga banyak mempelajati berbagai versi dan visi cerita-cerita binatang yang bersumber dari cerita-cerita Tantrikamandhaka, yang bersumber dari cerita-cerita Hitopadesa atau Pancatantra. Dari Bharatawarsa (India). Cerita-cerita sejenis ini memberi tuntunan wiweka, mengungkap tingkah laku yang tergolong baik, atau sebaliknya buruk, secara Metaforis, yang di perankan olah binatang-binatang atau ada kalanya langsung oleh manusia itu sendiri. termasuk juga yang tergolong sumber ini adalah cerita rakyat, legenda, dan satwa-satwa di Bali, yang di setiap daerah bekas Asranagara ini, atau di berbagai desa-desa Adat di bali, selalu memiliki khazanah satua bali yang khas dan unik, yang belum tentu kita dapat ketemukan di daerah bekas Astanagara lainnya, atau di desa Adat lainnya. 
Dalam usaha untuk lebih meningkatkan lagi informasi dan pengkondisian keagamaan Hindu di Desa-Desa adat di bali, para petugas penyuluh agama telah mulai merasakan bahwa di kalangan masyarakat umat beragama Hindu di Desa Adat masing-masing, telah mulai tumbuh dan berkembang wawasan keagamaan, dan mengetahui diri mereka adalah sebagai penganut agama hindu atau sanata dharma. Dalam penunaian ibadah agam , mereka tidak lagi hanya terpaku oleh tradisi-tradisi dan dresta-dresta setempat saja, tetapi telah mulai pula mengetahui konsep ajaran trigama, (igama, agama dan ugama). Mereka mulai mengetahui eksistensi, kedudukan dan peranan para fungsionaris,dalam pranata sosial mereka, yang disebut Desa Adat itu. selaras dengan perkembangan ini, masyarakat umat hindu pun tidak mau lagi menerima sistem dan metode penyuluhan agama, seperti pada mulanya. Mereka mulai kritis menanyakan aspek-aspek kehidupan beragama, saat melakukan ibadah agama.Mereka tidak mau lagi menunaikan ibadah agama hanya nyait-metanding dan maebat saja. Mereka mulai bertanya apa yang mereka lakukan itu, apa sasaran, tujuan atau goaisnya.
Selaras dengan perkembangan itu, maka para tenaga penyuluh agama hindu, tidak cukup hanya menguasai materi agama hindu saja. Mereka harus menunjang pula, materi pengetahuan agama yang telah dikuasainya dengan berbagi ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, sejarah, arkeologi, anthropilogi, ilmu kemasyarakatan, dan berbagai cabang kesenian, terutama yang menjadi unsur persembahan dan pemujaan dalam tata upacara, terutama unsur seni yang terangkum dan di sebut pancapagendha yakni, seni sastra, seni vocal, seni instrumen, seni gerak dan seni rupa. Lebih-lebih pengetahuan seni rupa, karena dari seni rupa ini akan terungkapkan berbagai nyasa agama hindu yang kaya, dalam dan konsetual dengan konsep Dewawigraha, seperti yang di kemukakan dalam Isopanishad.
Dalam periode selanjutnya, antara tahun 1975-2990, informasi dan pengembangn agama hindu bagi masyarakat umat hindu di lingkungan Desa Adat masing-masing, tidak lagi hanya bersifat informasi dan pengkondisian, tetapi sudah mulai mengarah ke peningkatan dan pendalaman aspek-aspek terhadap ajaran agama hindu itu sendiri. dalam kegiatan penyuluhanagama di desa-desa adat bali, para audience tidak lagi hanya sebagai pendengar yang baik, mendengarkan dan menyimak message yang di sampaikan oleh komunikator, penyuluh agama itu sendiri, masyarakat audience atau komunikan mulai mengembangkan sistem dharmatula dalam penyuluhan yang dilaksanakan di suatu tempat, para komunikan, akan menanyakan apa saja tentang topik keagamaan yang dijadikan banteng dharmawacana pada saat itu. sehingga menyimak kenyataan itu, pada era pendalaman dan pengungkapan seorang komunikator harus betul-betul siap dan menyiapkan cirri pada waktu memberikan penyuluhan. Sistem dan metode penyampaian materi agama pun, tidak lagi diterima oleh masyarakat, kalau tidak menggunakan sistem dan method e ilmiah. Hal ini terjadi terutama di kalangan generasi muda hindu dan kalangan intelektual Hindu.
Kenyataan ini pun merupakan suatu PR baru bagi para penyuluh agama. Bayangkan, betapa sulitnya mengungkapkan sanata dharma (agama,menurut istilah ilmu dari dunia barat) yang abstrak, niskala, menjadi gambling, logis, dan mudah diterima akal sehat. Kenyataan dan permasalahan yang mulai berkembang ini pun, merupakan tantngan baru bagi para penyuluh agama. Satu-satu jalan, adalah harus lebih banyak belajar agama, dan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai penunjang, agar dapat digali dan ditumbuhkembangkan usaha mengungkapkan agama melalui sistem dan metode ilmu, sehingga pengungkapan dan penjabaran materi agama, menjadi menarik dan dapat di terima oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh kalangan generasi muda yang telah menerima pendidikan agama sejak dari bangku Taman kanak-kanak, sampai perguruan tinggi. 
Peningkatan dan pengembangan wawasan tentang agama hindu, termasuk kemarakan hidup dan kehidupan agama pada era ini, di tandai dengan seiringnya diadakan seminar-seminar tentang agama hindu, dalam berbagai aspeknya, oleh berbagai pihak dan kelompok.
Usaha pengembangan, peningkatan dan pendalaman tentang aspek-aspek hidup dan kehidupan agama hindu, tidak hanya di bahas dalam kegiatan seminar dan sejenisnya saja,tetapi juga diejawantankan dalam aspek lainnya, seperti membangun dan memugar bangunan pelinggih pura-pura yang telah rusak di makan usia, termasuk persembahan dan pemujaan mulai dari acipanyabran, pujawali (pawedalan) sampai persembahan dan pemujaan Karya tingkat tertentu. Mulai dari Madudus Alit, Madudus Agung, Ngusabha Desa dan Ngusabha Nini, sampai berbagai ngusabha.
Terlepas dari usaha yang telah di kemukakan, usaha pengembangan, peningkatan dan pendalaman aspek-aspek ajaran dan tata kehidupan masyarakat umat hindu dalam periode 1975-1990 menjelang akhir abad XX ini, kalau di simak dan dikaji, sebenarnya telah terwujud usaha yang berkeseimbangan, berkeharmonisan, dan berkeselarasan., pengembangan, peningkatan, pendalaman hakekat ajaran agama hindu (sanata dharma), melalui berbagai usaha yang telah dikemukakan, sebenarnya baru merupakan satu usaha saja yakni menekuni ajaran-ajaran sastra agama saja. Tetapi dengan dilaksanakannya kegiatan pembangunan dan pemugaran pura-pura, yang di ikuti dengan persembahan dan pemujaan berbagai tingkatan upacara, usaha itu sebenarnya telah menjadi klop dan kompak., seperti telah dikemukakan, merupakan usaha untuk manunaikan swadharma agama seutuhnya, yang berkeselarasan, berkesinambungan dan berkeharmonisan antara unsur dan struktur kerangak agama hindu yakni aspek ajaran filsafat (tatwa), tata susila, dan upacara. 
Selaku usaha untuk meluruskan sikap perilaku fanatic sempit dan terlalu integral kehidupan beragama, khususnya konstektual dalam pembangunan di Bidang Agama (dalam berbagai aspeknya) seperti telah di kemukakan, ada beberapa jalan dan sistem yang dapat di upayakan dan di tempuh, oleh pihak-pihak berwenang dan berkompeten. Yang pertama berusaha untuk menyelusuri eksistensi, kedudukan dan fungsi suatu pura,apakah status dan kedudukan sebagai Dang Khayangan, Sad Khayangan, Khayangan Jagat, Rwabhineda, Punarbhawa, atau pun pura-pura yang tergolong untuk menghormati dan memuliakan guru-guru suci agama hindu, yang telah berjasa pada jamannya, untuk membina dan mengembangkan agama hindu. Termasuk usha menggali sumber-sumber sejarah pura yang bersangkutan, berdasarkan data yang ada, yakni Lingga prasasti, Tamru Prasasti, dan Ripta prasasti. Sumber-sumber sejarah suatu pura dari lingga prasasti adalah dengan menyelidiki batu-batu bertulis .sumber-sumber sejarah suatu pura dari lingga prasasti dan ripta prasasti, yang di tulis dalam berbagai rontal Pamancangah, rontal-rontal babad, rontal-rontal bhisama dan paswara. Dan yang khusus mengungkapkan eksistensi asal- usul atau kalau boleh dikatakan sejarah pura-pura, termasuk kedudukan dan fungsi pura-pura itu adalah berbagai rontal Usana dan Purana ini, disamping banyak mengungkapkan asal-usul suatu pura, terutama pura-pura Dang Khayangan, SadKhayangan dan pura-pura yang memiliki konstektual dengan perjalanan suci dharma yatra dan tirthayatra para Wiku pada jamannya, banyak pula yang mengungkapkan hari Suohadhiwasa pawedalan atau pujawali, Mpu Lutuk babantenan, termasuk Istadewata Hyang Widhi, yang berparhyangan atau berstana di suatu pura. Walaupun pengungkapan Abhiseka Istadewata di suatu pura sering di ungkapkan dengan bahasa domestic atau penghayatan agama Immanent.
Contohnya, seperti pengungkapan abhisseka Istadewata yang berparhyangan di Pura Tuluk Bitu.Di samping ada padmasana sebagai sthana Hyang Widhi, tetapi pengungkapan Abhiseka istadewata dewa-dewa yang berparhyangan di berbagai pelinggih gedong, dan meru-meru di Pura Tuluk Biyu (pura batur kanginan).Kecenderungannya adalah diungkapkan dengan bahasa domestic dan penghayatan agama immanent, seperti di puncak Gunung Tuluk Biyu, adalah sthana (parhyangan, Ida bhatara-bhatari Shakti Tuluk Biyu. Atau dalam bahasa untuk lebih menghormati atau lebih memfokuskan pemujaan shakti, dikatakan sthana (parhyangan) Ida Bhatara-bhatari Mas Tukuk Biyu. Padahal berdasarkanTamra Prasasti yang di sunggung dan menjadi Druwe Karas Pura Tuluk Biyu. (pura Batur kanginan) sudah jelas dikemukakan di sana, yang bersthana di puncak Gunung Tuluk Biyu atau pura penatarannya, yakni pura Tuluk Biyu itu sendiri adalah bhatari-bhatari Tuluk  Biyu., yang masih berkecenderungan pengungkapan AbhisekaNya dalam bahasa domestic dan penghayatan agama Ummanen. Padahal dalam kajian, yang berkecenderungan berpegang dan meniti sumber-sumber sastra lainnya, seperti Upaweda, etrutama dalam konsep Dasanama, bhatara-bhatari Tulik Biyu itu adalah tiada lain Siwa Parwateswara (Siwa Raja Gunung) dengan saktinya, Parwati Dewi (Putri Gunung). Demikian pula selaras dengan konsep Dasanama ini, siwa Parwateswara ini, sering juga di kemukakan dalam bahasa Jawa Kuna, sebagai Siwa Girinatha, yang sama artinya, yakni Siwa Raja Gunung.
Sangat menarik lagi, dalam usaha mengungkapkan Shakta dan Shakti, seperti yang di kemukakan dalam konsep ajaran agama Rwabhineda yang berkecenderungan bersifat Tantris, Meru Tumpang Siya di Pura Tuluk Biyu (pura batue kanginanan), disebut sebagai parhyangan Bhatara Shakti Puri Kaleran. Sedangkan Meru Tumpang Pitu, dikemukakan sebagai parhyangan (sthana) Ida Bhatara Shakti Kelodan. Kalau kita simak dan kaji sumber-sumber tatwa (filsafat) yang telah dikemukakan dengan mengambil banding sumber-sumber Tamra Prarasati yang di sungsung di Pura Tuluk Biyu, termasuk juga kalau di bandingkan dengan beberapa rontal Usana dan Purana, di duga yang bersthana di Meru Tumpang Siya, adalah Dewa Siwa sendiri, (Siwa Parwatwswara, Siwa Girinatha), yang bersthana di Puncak Gunung Tuluk Biyu. Demikian pula, dikemukakan bahwa Meru Tumpang Pitu adalah sthana (parhyangan) Bhatara Sakti Puri Kelodan Tuluk Biyu. Di balik yang tersurat dakam ungkapan Dasanama yang berkecenderungan dengan bahasa domestic dan penghayatan agama Mimanent it, kalau kita berpijak dan meniti konsep ajaran agama Rwabhinneda, di duga yang bersthana di Meru Tumpang Pitu, adalah shakti Siwa Parwateswara, yakni Parwati Dewi. Mash banyak sekali, abhiseka Dewa-dewi, yang berkenderungannya diungkapkan dalam bahasa domestic dan penghayatan agama immanent, bukan hanya Pura Tuluk Biyu saja, tetapi masih umum di Bali, sehingga ada ungkapan abhiseka dewa-dewi, Ratu Bagus, Ratu Nyoman, Ratu Mas Ngolet, Ratu Mas Maketel, Ratu Mas Maketeg, Ratu Lingsir, termasuk ada juga ungkapan Dewa Nyoman, Dewa Made, Pura Batan Bingin, Pura Batan Ancak, Pura Batan Bunut, Pura Batan Kresek, dan terlalu banyak kalau diungkapkan contoh-contoh pengungkapan dan penghayatan aspek-aspek keagamaaan dengan bahasa domestic den penghayatan bahasa Immanent. 
Kembali kepada skurasi sejarah pada sumber Tamra prasasti, para ahli yang membidangi permasalahan itu, pada umumnya Tamra Prasasti sebagai sumber sejarah memuat data-data pelaku sejarah pada saat itu, antara lain raja-raja yang berkuasa.Pembesar kerajaan, para Wiku, pejabat-pejabat desa, keterngan-keterangan berbagi aspek kehidupan sosial, seperti hukum, sistem kemasyarakatan, sistem kehidupan agama, adat dan budaya, termasuk `sistem pemerintahan, perekonomian, perpajakan dan lain-lain. kita sangat angayubagya, karena dalam usaha menulis sejarah, status dan kedudukan, istadewata (prabhawa) Hyang Widhi yang berparhyangan atau bersthana di Pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan), masih dapat meniti akurasi data sejarah, yang bersumber dari 21 lembar Tamra Prasasti, yang tersimpan dan menjadi druwe karas Pura Tuluk Biyu, di samping druwe-druwe pratima lain yang terpenting arca emas Ardhanareswari Siwa- Parwathi, arca Singa Tiongkok yang berglasur warna merah yang sangat indahnya,yang dalam penelitian dan study awal para arkeolog, diklasifikasikan berasal dari zaman kejayaan Dinasty Ming, disekitar Abad XIV masehi. Di samping itu, masih dalam usaha untuk mengungkapkan kedudukan dan fungsi Pura Tuluk Biyu, akan tetap juga di pedoman sumber-sumber Ripta Prasasti, seperti beberapa babad, usana dan purana. Alasannya, saat menunaikan ibadah agama pada umumnya di bali, karena kita tidak selalu menggunakan pikiran logic saja, tidak lagi namanya agama. Harus pelaksanaan tata kehidupan beragama dalam berbagai aspeknya, didukung pula oleh Pangrasa Agama, sehingga terwujud keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan, antara Sakala dan Niskala. Karena pikiran manusia pada umumnya adalah sangat terbatas untuk mengetahui, menghayati, kemahaan, dan serba nis dan nir Hyang Widhi dengan Prabhawa Astaaiswaryanya, delapan sifat kemahakuasaan Hyang Widhi, Yakni:
1. Anima, sifat Hyang Widhi yang amat halus dan peka
2. Laghima, sifat Hyang Widhi, yang maha ringan,(lebih ringan dari ether)
3. Mahima, sifat Hyang Widhi yang maha besar, lebih besar dari yang naha besar.
4. Prapti, sifat Hyang Widhi, yang dapat mencapai kemana saja.
5.Prakamya, sifat Hyang Widhi, segala kehendaknya mesti tercapai.
6. Isitwa, sifat Hyang Widhi merajai segala yang kuasa. 
7. Wasitwa, sifat Hyang Widhi yang berkuasa atas yang berkuasa. 
8.Yatrakamawasayitwa, sifat Hyang Widhi yang kodratnya tidak ada yang melawan.
Karena kedelapan sifat-sifat kemahaan Hyang Widhi yang Transedental itu tidak selalu dapat di temukan oleh kemampuan daya pikiran umat manusia, hanya dasar keyakinan saja yang digunakan dalam usaha mengetahui dan menghayati keberadaan Hyang Widhi itu, selaras dengan konsep dan tuntunan ajara Pancasradha, terutama Widhisradha khususnya.
Di ungkapkan dengan bahasa domestic seperti di gunung Tuluk kayangan Ida Bathara-Bathari Mas Tuluk Biyu. Pada hal berdsarkan tatram prasasti yang disungsung menjadi druwe karcis pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan) sudah jelas dikemukakan disana, yang bershatha di Pura Puncak gunung Tuluk Biyu, atau Pura panataranny, yakni pura Tuluk Biyu itu sendiri adalah batara-bathari pula teluk biyu, yang masih berkecenderungan pengungkapan abhisekaNya dalam bahasa domestic dan pengayatan agama immament. Pada hal dalam kajian, yang berkecenderungan berpegangan dan meniti sumber-sumber sastra lainnya, seperti Siwa Parateswara (Siwa Raja Gunung) dengan sakitnya, Parwati Dewi (Putri Gunung). Demikianlah pula selaras dngan konses dasanama ini,Siwa Paramateswara ini, sering juga dikemukakan dalam bahasa Jawa Kuna, sebagai  Siwa Girinatha, yang sama artinya, yakni Siwa  Raja Gunung.
Sangat menarik lagi dalam usaha mengungkapkan shaka dan shakti, seperti yang diungkapkan dalamkonsep ajaran agama Rwabinedha yang berkecenderrungan bersifat Tantri,  Meru tumpengSiya di Pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan) , disebut sebagai parhayangn (sthana) Ida Bethara Sakti Kelodan. Kalau tidak simak dari sumber-sumber tauluk Tattwa (Filsafat) yang telah dikemukakan dengan mengambil banding sumber-sumber tattwam prasasti yang  disungsung di Pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan) , tarmasuk juga kalau dibandingkan dengan berapa lontar usada dan purana. Diduga yang bersthana di Meru Tumpang Siya, adalah Dewa Siwa sendiri, (Siwa Parwateswara, Siwa Girinatha), yang bersthana di Puncak Gunung Tuluk Biyu. Demikian pula, dikemukakan bahwa Meru Tumpang Pitu,  adalah sthana (parhyangan) Bhatara Sakti Puri Kelodan Tuluk Biyu. Di balik yang tersurat dalam ungkapan Dasanama yang berkecenderungan dengan bahasa domestic dan penghayatan agama mimament itu, kalau kita berpijak dan meniti konsep ajaran agama Rwabinedha, shakta dan sakti, yang berkecenderungan bersifat Tantris itu diduga berthana di Meru Tumpeng Pitu, adalah shakti Siwa Parateswara, yakni Parwati Dewi. Masih banyak sekali, absiseka Dewa-Dewi, yang berkecenderungannya diungkapkan dalam bahasa domestic dan penghayatan agama immanent, bukan hanya di Pura Teluk Biyu saja, tetapi masih umum di Bali, sehingga ada ungkapan abhiseka Dewa-Dewi Ratu Bagus, Ratu Nyoman, RatuMas Ngolet,Ratu Mas Meketel, Ratu Mas Maketeg,Ratu Lingsir,termasuk ada juga ungkapan  Dewa Nyoman, Dewa Made, Pura Batan Bingin , Pura Batan Ancak, Pura Eatan Bunut, Pura Batan kresek, dan terlalu banyak kalau bahasa dosmetik dan penghayatan bahasa immament.
Dalam suatu pura dalam karya tulis, penulis, hrus berhati-hati.Karena permasalahan yang diungkap adalah merupakan permasalahan yang sangat peka. Sedikit keliru, akan dapat meimbulkan permasalahan yang sebenarnya menyimpang dan tidak diharapkan, selaras dengan goals penulisan berbagai aspek suatu Pura atau Pura yang bersangkutan .Oleh karena itu penulis dipercayai menulis berbagai aspek-aspek keagamaan disuatu pura, harus sanagat hati-hati, berusaha melakukan sumber pembnding. Dan yang paling penting adalah sama sekali melepaskan vested interes, disamping dilandsi dengan wawancara dan sikap serta prilaku semangat pengabdian yang tulus, dan persembahan janayajnya , yang merupakan pengejawatahan maparodharma dalam hidup dankehidupan ini.
Selain dari pada itu, secara ilmu pengetahuan, berpijak dan meniti dari ketiga prasasti yang dikemukakan, rupanya tamra prasasti, adalah merupakan sumbr]er sejarah yang paling autentik, karena tamtra prasasti adalah anugrah Raja yang kuasa atau pembesar istana yang berkuasa pada jamannya, kepada masyarakat, bahkan kepada perseorangan. Jadi, akurasi data yang ditulis dalam tamtra prasasti itu benar-benar terjadi dan berlangsung pada jaman itu. Juga Sang Citralekha, (sang anurat prasati), apakah dalam bentuk dan wujud linggprasasti atau  tamtra prasasti, benar-benar mengetahui dan dapat menyaksikan ecara langsung permasalahan atau hal hal yang dituliskannya, dalam prasasti itu. Berbeda halnya kalau semata-mata menggunakan babad, usaha, purana dalam usaha menulis sejajah pura-pura. Para ahli secara system dan metode penulisan sejarah pura , menurutnya kadang-kadang apa yang ditulis adalah kejadian kejadian kuno atau lampau. 
Kembali kepada akutansi data sejarah pada sumber tamtra prasasti, pada umumnya tamtra prasasti sebagai sumber sejarah bermuat data-data pelaku sejarah pada saat itu, antara lain  raja-raja yang berkuasa, pembesr-pembesar kerajaan, para wiku, penjaabat-penjabat desa, keterangan-keterangan berbagai aspek kehidupan social, seperti hukum, sistem kemasyarakatan, sistem kehidupan agama, adat dan budaya, termasuk sistem pemerintah perekonomian, perpajakan dan la in-lain. Kita sangat angayubagya, karena dalam usaha penulisan sejarah, status dan kedudukan, istadewata (prabhawa) Hyang Widhi yang berparhyangan atau besthana di Pura Teluk Biyu (pura batur kanginan), masih dapat meniti akurasi data sejarah yang bersumber dari21 lembar tamtra prasasti yang tersimpan  dan menjadi druwen keras Pura Teluk Biyu, di samping druwe-druwe pratima lain yang terpenting arca emas ardhanareswari siwa-Parwati, arca Singa Tiongkok yang berlangsung warna merah yang sangat indahnya kn berasal dari jaman kejayaan dynasti Ming, di sekitar Abad XIV masehi. Di samping itu, masih dalam usaha untuk mengungkapkan kedududkan dan funsi Pura Tuluk Biyu, akan tetap juga dipedomkan sumber-sumber ripta prasasti,  seperti beberapa babad, usaha dan purana. Alasannya sanagat menunaikan ibadah agama pada umumnya di Bali, karena kita tidak lagi namanya agama.  Harus pelaksanaan tata kehidupan beragama dalam berbagai aspeknya didukung pulaoleh pangrasa agama , sehingga terwujud  keselarasan, keseimbangan dan keharmonisan, antara  skala dan niskala. Karena pikiran manusia pada umumnya adalah sangat terbatas untuk mengetahui, menghayati, kemahaman dan serba nis dan nir Hyang Widhi, dengan prabhawa astaaiswaryanya, dengan sifat kemahakuasaan Hyang Widhi , yakni:
1.      Anima, sifat Hyang Widhi yang amat halus dan peka.
2.      Laghima, sifat Hyang Widhi, yang maha ringan (lebih rigan dari ether).
3.      Mahima, sifat Hyang Widhi yang Maha besar, lebih besar dari yang maha besar.
4.      Prapti , sifat Hyang Widhi yang dapat mencapai kemana saja.
5.      Prakamya, sifat Hyang Widhi segala kehendaknya mesti tercapai.
6.      Isitwa, sifat Hyang Widhi segala kehendaknya mesti tercapai.
7.      Wasitwa sifat sifat Hyang Widhi yang berkuasa atas yang berkuasa.
8.      Yatrakamawasayita, sifat Hyang Widhi yang kodratNya tidak ada yang melawan.
Karena kedelapan sifat-sifat kemahaan Hyang Widhi (astaaiswara) yang transcendental itu tidak selalu dapat di temukan oleh kemampuan daya pikiran manusia , hanya dasar keyakinan saja yang digunakan dalam usaha mengetahui dan menghayati keberadaan Hyang Widhi itu, selaras dengan konsep dan tuntunan ajaran Pancasradha, terutama Widhisradhankhususnya. Sama halnya selaras dengan konsep ini, seperti yang di kemukakan oleh (Gede Pudja, M.A., S.H., ) Dalam bukunya Agama Hindu, Hindu sebagai agama,bukan hana bersifat dokrinal da dogma semata-mata. Hindu adalah sebagai agama yang memberi jalan berdasarkan Wahyu Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), yang sangat ilmiah. Oleh karena itu, agama hindu dengan kitab sucinya, memang ilmiah , kalau mau mengilmiahka. Hindu juga merupakan agama yang Niskala kalau kita mau menyakini dogma-dogma yang diajarkan didalamnya. Tata upacara, saat melakukan persembahan dan pemujaan dalam pelaksanaan Pancayadnya, yang merupakan sikap dan prilaku pengejawantahan trinam, pancayadnya, dan panca sradha, seperti yang telah di kemukakan dapat menumbuhkembangkan rasa agama yang dalam, yang di dukung oleh situasi lingkungan spiritual seperti pura-pura yang indah,dengan dudonan trimandalanya, dan tataletak berbagai sadhana bakti,juga memiliki fungsi dan kedudukan nyas (symbol keagamaan hindu), yang elaborate. Juga tumbuh berkembangnya rasa agama yang dalam pada waktu melakukan persembahan dan pemujaan, didukung oleh unsure persembahan pancapagendha yakni seni sastra, seni vocal (kidung,kekawin,mantra, geguritan) masuk juga kedalam unsure ini adalah chanda (lagu) saan para pemangku, saat melakukan aktivitas dan kegiatan sesuai dengan tugas dan kewajibannya . kemudian seni tabuh,seni tari dan yang terakhir merupakan seni lukis (rerajahan,sasuratan,tatatahan,gagambaran,ukirukiran) yang selalu sangat konseptual dengan tattwa, tata susila  dan upacara, walaupun fungsi dan kedudukannya merupkan ornament bangunan palinggih pura, lukisan parbha, umbul-umbul, kober,ider-ider,laluhur, lalembung, kobercaru, termasuk rerajahan senjata dewata nawasanga, yang dirajah  pada berbagai tempat upakara sebagai tempeh,tembog,ngiu,ilih dan terutama di pangendangan panawaratna perlengkapan upakara arepanan Widhi di depan WikubManggaleng Karya. Rerajahn senjata dwata nawasangga , yang dilukis pada wadah upakara yang telah dikemukakan, adalah  padma anglayang , dengan aksara Yang dan Ing, wrayang dan atribut dewa siwa , dimdya (tengah). Cakra, dengan aksara Ang, wayang dan atribut dewa Wisnu,di Uttara (utara) . Trisula dengan Aksara Wang , wrayang dan atribut dewa Iswara, di Purwwa (Timur). Dupa dengan Aksara Nang, Wrayanang dan atribut dewa mahesora, diGeneyan (Tenggara).Danda(Gada), dengan Aksara Bang, wrayang dan atribut Dewa Brahma, di daksina (selatan). Moksala (mosala) dengan Aksara Mang, wrayang dan atribut Dewa Rudra (Siwarudra), di Neriti, (Barat Daya). Nagapasa, dengan Aksara Tong, wryang dan atribut Dewa Mahadewa (Siwamahadewa) , di pascima (Barat). Angkus, dengan aksara sing, wrayang dan atribut Dewa  Sangkira, (siwasangkara), di wayabya (Barat Laut).
Seperti telah dikemukakan, demikian elabolaratenya unsure dan struktur sadhana bakti, dalam persembahan dan pemujaan oleh prabhakta, (karmamargin dan bhaktimargin), yang mampu menggugah dan menumbuhkan rasa agama yang mendalam, sebagai penghayatan dan pengamalan ajaran agama transendetal, tidak akan menggunakan sradhabbhakti se-elaborate itu, karena kekuatan yoga dan samadhinya, untuk mencari dan mencapai Moksa.
Selanjutnya setelah mengungkapkan latar belakang kemampuan antara penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang immanert dan transedental secara umum, seperti yang telah di kemukakan akan digunakan digunakan juga sebagai pijakan untuk mengungkapkan aspek-aspek eksistensi Pura Tuluk Biyu (Pura Batu Kanginan)
Dalam Rotal Kasuma Dewa yang berpetikannya sebagai berikut :
“...sira Mpu kuturan, ingaranan sire mpu rajakerta, mahyunta angawe parhyangan kabeh, bhatara ring besakih, bathara ring batumadeg, bathara ring batumanyeneng, bathara ring pintu aji, bathara ring kadaton, bathara, bathara ring Tuluk Biyu, ....”
Arinya:
“...Beliau Mpu Kuturan, yang abhiseka Mpu Rajakretha berkeinginan membangun semua pura, yang awalnya dibawa dari majapahit, semuanya disthatakan di Bali; Bathara dibesakih, Bthara diBatumadeg Bathara di pintuaji...”
Kalau dibandingkan dengan pengungkapan tamtram prasasti, keras druwen Ida Bathara di Tuluk Biyu, yang terdiri dari 21lembar prasasti tembaga itu , yang oleh R. Goris disebut Batur, Pura Abang. A (goris no 305,) tarihk pendirian Pura Tuluk Biyu dan pengungkapkan raja mengungkapkan raja pada saat itu mengungkapkan titik temu.isi pokok Tantra Prasasti di Pura Tuluk Biyu tersebut adalah :
a)      Bertarikh 933 Saka (1011 M) atau Penulis : Abad XI M )
b)      Menyebut abhiseka raja, Paduka Sri Dharmamdayana Warmadewa
c)      Menggunakan bahasa dan huruf Jawa Kuno (kawi)
d)     Menyebut daerah, karaman-1 wingkang naru air hawang, (desa pinggir danau di Air Hawang )
e)      Menguraikan masalah pemeliharaan kuda (tongkalik kuda) dan menyebut penjabat tinggi urusan kuda engan pangkal rakyanasba, bernama Dyan Manjak, (rahkyan, renkayana dalam bahasaJawa baru, asba:kuda).
f)       Menyebut nama abhiseka (Bathara Kulitbiyu) 
Menyebut kembali titik temu ripta rasasti , Rontal Kusuma Dewa dengan Tamtra
Prasasti , prasasti Air Hawang dalam konseptualnya tarikh dibangunnya Pura Tuluk Biyu secara  formal semasih Di Desa Air Hawang di pinggir bagian  timur Danau Batur, dalam kajian Desa alalisis kedua sumber yang diperlukan tersebut sangat jelas sekali. Jelas Pura Tuluk Biyu dulu, sebelum pindah dan dbangun kembali pada tahun 1926 di Desa Adat Batur Kalangannya(sekarang), dibangun sekitar abad ke XI. Termasuk yang memegang hegomoni pada waktu itu adalah Paduka Sri Dharmmodayana Warmadewa. Yang sangat penting lagi, selaras dengan perkembangan agama hindu di era sekarang terutama oleh para generasi mud dan kalangan intelektual pada umumnya, yangbselalu ingin tau, istadewata (prabhawa), Hyang Widhi di pura , dipura Teluk Biyu, (Pura Teluk Kanginan) yang bersthana (Parahyangan) adalah Bhatara Kulit Biyu. Disini juga terdapat Prasasti kedua , yakni prasasti Er Hawang, yang oleh R. Goris disebut Batur , Pura Abang  B, (Goris No. 605) yang isisnya:
a)      Bertarikh 1103 Saka (1181 M).
b)      Menyebutkan abhiseka raja Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkajachina........
c)      Menggunakan bahasa Jawa Kuna (Aksara).
d)     Menyebut nama desa er Abang.
e)      Menyebut nama bathara-bathari Pura Teluk Biyu.
f)       Berisi penyelesaian dari pertikan yang timbul antara penduduk-penduduk desa Er Abang dengan pemerintah sang-admak akmitan-apigajih.r
Desa Air Hawang pada waktu itu sangat penting, karena selalu mendapat  perhati an dari raja-raja dynasti warmadewa yang memang memegang hegomoni di Balipulinamandala. Isi pokok prsasti Er Abang, yang bertarikh 1103 saka (1181 M), bahwa dalam kurun waktu 170 tahun telah terjadi beberapa perubahan nama antara lain Desa Air Hawang, menjadi Desa Er Abang. Abhiseka Bathata Kulit Biyu, menjadi Bathari Teluk Biyu. Beberapa perubahan ini perlu diperhatikan, yang berada di Pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan, sekarang) berlokasi di Desa Adat Batur Kalanganyar, kecamatan Kintamani, Kabupaten Dareah Tingkat II Bangli. Termasuk analisis istadewhata (prabhawa) Hyang Widhi, yang bersthana di Pura Telduk Biyu, yang sedang melaksanakan persembahan dan pemujaan Karya Agung Pamungkah, Panyegjeg jagat, panganteg linggih, Bhakti Pakelem ring segara Danu Batur. Kalau kita berpijak dan meniti sumber-sumber ripta prasasti, seperti Rontal Usada Bali, Rontal Widhisastra, Rontal Raja Purana, Rontal Usada Bali , Rontal  Babad Pang masek Kayu Selem, yang mengungkapkan secara pasti fungsi dan kedudukan pura-pura dang khayangan di Bali. Contohnya, unsure dan struktur Dang Khayangan  diBali, itu buktinya visi dan versinya berbeda-beda. Terutama pengungkapan visi-versi sadkhyangan di Bali .contohnya,unsure dan struktur yaitu
Menurut Rontal Widisastra:
1.      Pura Agung Besakih
2.      Pura Baturhyang
3.      Pura Batukaru
4.      Pura Ujung 
5.      Pura Uluwatu
6.      Pura Air Jeruk
Menurut Rontal Rajapurana;
1.      Pura Agung Besakih
2.      Pura Batukaru
3.      Pura Baturhyang
4.      Pura Air Jeruk
5.      Pura Jugul Watukahyangan
6.      Pura Ujung
Menurut Rontal Usada Dewa:
1.      Pura Agung Besakih
2.      Pura Ulun Danu Batur
3.      Pura Kentel Bumi
4.      Pura Pusering Tasik
5.      Pura Tirta Empul
6.      Pura Manik Corong
Menurut Rontal Babad  Pasek Kayu Selem:
1.      Pura Ulun Danu Batur
2.      Pura Lempuyang
3.      Pura Watukaru
4.      Pura Beratan
5.      Pura Pejeng
6.      Pura Andakasa
Demikian perbedaan visi dan versi unsure struktur pura-pura Sadkayangan di Balidwipamandala, menurut ripta prasasti yang telah dikemukakan. Rupa-rupanya dalam dlam perjalnan sejarah pemegang hegomoni oleh raja-raja pada zaman Bali Kuna, sampai Zaman Bali Pertengahan  visi dan versi pura-pura sSad Khayangan atau kahyangan jagat pada umumnya berbeda. Pura- pura Sadkhayangan dan Khyangan jagat pada umumnya diBali dibangun pada Abad ke XI, oleh Mpu Kuturan, yang amat terkenal dengan penataan desa-desa pekramaan (Desa Adat di Bali), dengan Pura Khayangan Desa (Pura Kyahyangan Tiga) termasuk Pura Kyahyagan Jagat. Dalam petikan Rontal Kasuma Dewa, dapat diklarifikasikan bahwa Pura Tuluk Biyu adalah Pura Kyahyangan Jagat. Dalam Prsasti Er Abang, merupakan Prasasi yang memiliki huruf terindah yang pernah ditemukan di Bali. Berita Cina menyebutkan Wu-yuan-lao-wang-chien (Kitab Ming shin). Isi pokoknya:
a)      Bertarikh 1036,saka (1384 M)
b)      Huruf dan bahasa Jawa Kuna Majapahit
c)      Menyebut nama abhiseka yang cukup panjang
Sehingga dapat disimpulkan bahwa di Zaman itu , Desa Abang dan Pura Teluk Biyunya sebagai sthana Dewa, di  Pura Teluk Biyu adalah Desa atau Pura yang diurus dan diayomi oleh Raja-raja.  
Setelah mengemukakan kajian dan analisis dari sumber ripta prasasti dan tamtra prasasti yang telah di kemukakan  opini dan pernyataan pada era semakin suburnya pertumbuhan dan perkmbangan agama hindu di kalangan masyarakat yang belum sepenuhnya menerima ungkapan abhiseka isthadewata Hyang Widhi, dalam ungkapan domestic yaitu Dewaa-dewi. 
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pun akan kembali menyimak, mempedomani ketiga kelompok akurasi data sejarah yang diungkapkan dalam hasil study dan penelitian para akhir yang telah membaca ke dua puluh satu lembar prasasti Pura Tuluk Biyu, yang telah dikemukakan yang bersthata (berparahyangan) di Pura Tuluk Biyu (Prasasti Air Lawang) atau Bathari Kulit Biyu, (Prasasti Er Abang). Seperti telah di kemukakan, rupa-rupanya pada era Zaman Bali Kuna itu, masih juga dipengaruhi pula oleh pengaruhi budaya local, yang berkecenderungan  dipengaruhi pula oleh pengaruh bahasa domestik dalam penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang immanent, untuk mengungkapkan abhiseka Dewa-dewi, istadewata yang bersthana di suatu pura.sehingga di Pura Teluk Biyu, yang bersthana di kemukakan, bhatara Kulit Biyu, selaras dengan nama Gunung( Gunung Tuluk Biyu), yang menjadi sthana bhatara kulit atau Bhatara Tuluk Biyu akan dimuliakan disana.
Kalau kita kaji dan analisis menurut konsep lingga acala dalam konstektual dengan konsep filsafat yang Siwaistis, bahwa Dewa Siwa GiriNatha yang bersthana (Berpharahyangan) di Gunung Teluk Biyu, sekaligus Teluk Biyu itu adalah lingga acala (lingga yang tak bergerak) itu sendiri, Nyasa Uma Dewi sendiri.Kalau dibandingkan konsep lingga yonidalam konsep filsafat yang Siwaistis, yang telah dikemukakan.
Dalam ripte prasasti itu, dikemukakan konsep catur ranu prahyangan catur dewi di Bali dwipamandala. Rincian masing-masing adalah sebagai berikut:
1.      Danau Batur, parhyangan (sthana) Bhatari Uma
2.      Danau Buyan, parhyangan (sthana) Bhatari Gangga
3.      Danau Bratan, parhyangan (sthana) Bhatari Lakshmi
4.      Danau Tamblingan, parhyangn (sthana) Bhatari Sri
Dalam sumber ripta prasasti ini jelas dikemukakan Danau Batur adalah sthana (parhyangan) Bhatari Uma. Bhatari Uma,adalah shakti Bhatari Siwa. Dalam konsep filsafat Lingga-Yoni, Dewa Siwa adalah diwujudkan dalam bentuk Lingga, sedangkan Dewi Uma, diwujudkan dalam bentuk yoni. Sehingga meniti dari konsep ini, gunung Tuluk Biyu adalah lingga acala, nyasa Dewa Siwa itu sendiri, sedangkan danau Batur, adalah yoni, Nyasa Dewi Uma. Sehingga yang berparahyangan di Pura Tuluk Biyu,yang duluberlokasi di Desa Air Hawang (Desa Abang ; Sekarang), adalah Dewa Siwa dengan shaktinya Parwati Dewi atau Uma Dewi.
Sebenernya, di Pura Tuluk Biyu, masih banyak disimpan benda-benda arkeologi yang sangat berharga, antara lain arca porselin (keramik) dari Tiongkok,berwujud seekor binatang ghaib, yang merupai seekor singa,yang menggunakan Glasur berwarna-warni yang sangat indah,yang di duga berasal dari zaman Kerajaan Ming, disekitar abad XIV Masehi. Yang amat istimewa dari temuan arkeologi uarja uter ini, adalah besarnya, sehingga gaungnya pada waktu dibunyikan dengan menangkap gema ghanta yang sedang diguncang, kedengaran dengan jelas dan sangat memukau, serta memiliki kekhasan tersendiri.
Namun, terlepas dari semua itu, selaras dengan goals penulisan buku ini, untuk mengetahui kedudukan, fungsi dan status Pura Tuluk Biyu sejak dulu dan sekarang, adalah drue tamra prasasti  yang berjumlah 21 lembar, di samping arca emas Ardhanareswari, Bhatara-Bhatari Tuluk Biyu, yang sebenarnya adalah arca perwujudan Dewa Siwa dan Parwati Dewi, seperti temuan arca emas di Gemuruh, Wonosobo, di situs arkeologi, kawasan gunung Adi Hyang di Jawa Tengah. Dengan mengambil banding sebagai sumber acuan kajian dan analisis dari beberapa ripta prasasti di Bali, akhirnya dapat di dikemukakan Pura Teluk Biyu, sejak dulu, sejak berlokasi di Desa Air Hawang, adalah berkedudukan dan berfungsi dan berstatus sebagai khayangan jhagat.
Tetapi dalam era semakin tumbuh suburnya hidup dan kehidupan beragama serta telah adanya perhatian Pemerintah Daerah, pharabakta dan yang terpenting oleh Krama Pangemong Pura Tuluk Biyu, perlu diinformasikan dan diluruskan kedudukannya, fungsi dan status Tuluk Biyu, salah satu khayangan yang penting di Zaman Bali Kuna. Termasuk pengungkapan kembali istadewata Hyang Widhi yang berstana di Pura Tuluk Biyu, di balik pengungkapan abhiseka bahasa domestic, dan penghayatan dan pengalaman agama yang immanent, dengan berpijak dan meniti pada sumber-sumber tamra prasati.
Tetapi karena permasalahan agama sangat peka, pada akhirnya dalam usaha meluruskan dan menaruh pada proporsi yang sewajarnya tentang kedudukan, fungsi dan status Pura Tuluk Biyu dengan berpijak pada kajian-kajian dan analisis-analisis.Karena kenyataan, secara jujur, perlu di kemukakan, penetapannya wewenang Instansi, Majelis, badan yang terkait.Sekali pura-pura di Gianyar.
Berdasarkan kajian dan analisis yang telah di kemukakan, selaras dengan peran serta masyarakat hindu ikut berpartisipasi dalam pembangunan di bidang Agama. Sekaligus pula usaha ini, akan menjadi warisan pada generasi muda, untuk tidak ragu-ragu lagi, pada waktu mamadek, muspa dan bersembahyang di pura.
Suatu contoh, dengan membaca dengan singkat mengenai eksistensi Pura Teluk Biyu ini, yang meniti sumber tamra prasasti dan ripta prasasti dan juga arca emas Ardhaneswari Bhatara-bhatari ri Tuluk Biyu, aka nada gambaran, bahwa tidak berkelebihan bahwa Pura Teluk Biyu,dulu dan sekarang merupakan salah satu Pura Khayangan Jhagat di Balipulinamandala, yang bersthana di Pura Tuluk Biyu adalah Dewa Siwa dan saktinya, Parwati Dewa.
Seperti halnya eksistensi Pura Tuluk Biyu kecendrungan berlaku adagium trisamaya ini dapat kita simak,yang kehidupan beberapa aspek sosialnya masih tetap hidup dan berkembang sejak zaman Bali Kuna, Zaman Bali Pertengahan, termasuk seperti harapan kita bersama dapat berlanjut sampai era yang akan dating, yang akan dilaksanakan oleh generasi penerus.
Sehingga tata kehidupan beragama di Bali menjadi bertambah marak,yang di balikkemarakan itu,merupakan salah satu jalan untuk pendalaman dan peningkatan pelaksanaan Widhisradha khususnya, di samping srada-srada yang lain dalam hidup dan kehidupan ini.
Rsi Markhandya Wesnawa dari Gunung Rawung/Arjawa/Jawa Timur dengan ratusan orang pengikutnya, para wangsa Pasek Berjo, kedua kalinya ke Bumi Banten Pulina Bali, berdasarkan wahyu merabas / membabat hutan Pringgo di bawah Gunung Tohlangkir; keberangkatan pertama gagal, baru sampai di alas/hutan Pringgo sebagian besar pengikutnya tanpa sakit mendadak mati, tidak berhasil ditolong.
Rsi Markhandya Wisnawa kembali ke Bumi Banten Pulina Bali, Rsi Markhandya mengusir bala pengikutnya Hyang Berawi Dawan Bumi Alas Angker waktu di kayu besar bernama Banaspati dewanya Roh pemakan darah merah dan polo/otak manusia. Selanjutnya dirikanlah tiga Lingga di bawah kaki Gunung Tohlangkir itulah Tri Lingga sesudah itu baru boleh hutan Primbo dirabas/di babat “tanam kunyit keladi di bawah Gunung Agung”.
Setelah itu tebang hutan alas Mahoni di bawah Gunung Panerejon, Pusertasik Wangun Urip satukan wangsa Wong Bali Mula dengan wangsa Wong Aga Pasek Berjo dari Jawa yang juga wangsa padukuhan wong Abang ada di Bumi Banten Pulina Bali. Sesudah selesai menebang pohon mendirikan periyangan leluhur dan periyangan Gunung Rawung, para Wong Aga masing-masing sudah menempati tanah pemukiman berkelompok/ bebanjaran (banjar).
Sebelum ke pedukuhan alas Mahori lebih dahulu sembahyang semadi di Puncak Gunung Panerejo/Pusertasik payogan di mata air suci kumkuman kini disebut Desa Kuwun sedangkan pengikutnya sebagian ditempatkan di alas/hutan Pedukungan Mahori Bergerak merabas hutan sekitar Pedukuhan Mahori.
Rsi Markhandya Wesnawa beryoga di pasraman Kuwuh, beranjangsana kearah selatan di pinggir jurang yang ada gua mengeluarkan air dengan empat mata air disebut Catur Tirta Empahan Nini. Tirta = air, empehan nini =air susu Ibu Pertiwi, kini disebut Pehbini.dengan empat mata air padukuhannya disebut padukuhan Catur, Pekraman Catur, Phehbini persemediannya Rsi Markhandya Wisnawa, aliran air Danu Gunung Lebah. 
Pada hari tertentu Rsi Markandya Wisnawa mendatangkan wong bali mula/bali asli keturunan Hyang Kamareka dan Ki Poleng asal witang danu Gunung lebah berdatangan kepedukuhan alas mahori bertemu dengan wong age asal gunung raung arjawe-jawe, wangsa pasek berjo. Sesudah selesai sembahyang mulai perkenalan dengan masing-masing lebih dulu menelan beras kuning dan biji ditempelkan di tengah-tengah dahi perlambang putrid maha siwa pertama ni cantik kuning dewi uma yang lahir dari tulangnya Hyang Siwa Acintya. 
Demikian dijelaskan oleh Rsi Markandya Wesnawa, kepada wong pemacek Pasek Bali Mula bersama Wong Aga pemacek Pesek Berjo asal Jawa, untuk melaksanakan pembabatan/perabasan hutan wilayah hutan Mahori yang di bawah Gunung Panerejon untuk pemukiman dan lahan pertanian. Pertemuan ini disebutkan seuwak (satu suara = aklamasi).
Rsi Markhandya Wesnawa menjelaskan menerima pesan kesan secara langsung dari wong samar orang halus penghuni Pusertasik Bumi Banten Pulina Bali di Gunung Panerejon alas Pringgo Basukihan, sesudah ditaburkan beras kuning di sekitar Padukuhan Alas Mahoni orang halus menjelaskan semua Gunung di Bumi Banten Pulina Bali, adalah tempat beryoga semedi para Rsi, Empu, Begawan dan para Dewa mohon wahyu kehadapan Hyang Maha Siwa Achintya untuk kembali menjelma ke bumi ke mayapada.
Isaka 112 wong samar menjelaskan meletusnya gunung Tabuh Abang kini disebut Gunung Tuluk Biyu dan Gunung Rinjani dengan satu Gunung , kelima nama gunung :
1.      Gunung Panerejon
2.      Gunung Paser Tasik
3.      Gunung Tegeh Kauripan
4.      Gunung Wangun Urip
5.      Gunung sukawana 
Bekas lubang kepundan disebut Guwa Matangkeb.
Meletusnya dua gunung Bumi Banten Pulina Bali Menjadi gunung api yang amat besar menjulang tinggi mencapai angkasa Bumi Babten Pulina Bali dipandang sudah berupa api berbentuk gunung. 
Rsi Markandya Wesnawa menjelaskan kepada Wong Abanmula Bali Mula agar rajin taat ngupapira sembayang di Gunung Tampud, Gunung Abang, di bawah Gunung Abang wong Bali dijadikan oleh Hyang Siwa Pasupati disebut Wong Bali Witang Dhanu. Dari yoganya Hyang Siwa Pasupati Adanya tirta seperti Banyu Geger/ Air Awang berguna tirta peanugrahan Siwa Melebur malapetaka surge dan bumi mayapada.
Maka dari itu Bhatara Narada di utus oleh Bhatara Siwa mencari Tirta Sakthi Banyu Geger di Mayapada di Gunung Abang, untuk membawa air suci itu dengan buah pisang emas.Sesudah itu baru boleh disalin dengan tempat bambu gading untuk di percikan di tempat yang terjadi suatu malapetaka, selanjutnya untuk diri sendiri.Dengan demikian Gunung Abang bernama Gunung Cempuluk Bayu/Gunung Tuluk Biyu, gumuing suci payogan Sang Hyang Siwa.
Rsi Makandya di Pedukuhan Alas Mahori menjelaskan dalam pertemuan pada Wong Age Pasek Berjo dengan Wong Bali Mula, asal dari Songan asal putra  Empu Kamareka. Rsi Markandya menjelaskan adanya Purwaka Bali Mula Peyogan Maha Siwa Cintya, pertama Maha Siwa Acintya dari yoganya menciptakan Putri Keluar dari tulang Ni Cantik Kuning. Yang disebut Sang Hyang Dewi Uma,  Hyang Maha Siwa Acintya lagi menciptakan Putra dari Yoga Panca Bayu.
Diantara kelima Putra yang paling taat mentaati dan mematuhi perintah Hyang Maha Siwa Cintya adalah putra yang paling kecil Sang Perthatjala Siwa. Di pertemukan dengan sang Canting Kuning Sang Canting Kuning Diberi nama oleh Sang Nama. Sang Perthatjhala Siwa di beri nama Oeh Sang Siwaya. Pertemuan nama putri dan putra itu disebut Hyang Nama Siwaya, pelindung dan penyelamat oleh Hyang Maha Siwa Cintya. 

B. PELINGGIH-PELINGGIH YANG TERDAPAT DI PURA TULUK BIYU BATUR
1.      Gedong Pelinggih : Ida I Ratu Susunan Sakti Maduwe
2.      Gedong Pelinggih : Ida I Ratu Bagus Wayan Manik Cecorong
: Ida I Ratu Bagus Nengah Manik Sekecap
3.      Gedong Pelinggih : Ida I Ratu Gede Penyarikan
4.      Gedong Pelingg : Ida I Ratu Gede Pura Mas
5.      Gedong Pelinggih : Ida I Ratu Gede Poseh
6.      Gedon Pelinggih : Ida I Ratu Ayu Kemulan
7.      Gedong Pelinggih : Ida I Ratu Gede Gurun
8.      Gedong Pelinggih : Ida I Ratu Susunan Sakti Maduwe Gama

















9.      Meru Tumpeng Tiga Penyineban Ida Bhatara-Bhatari















10.  Meru Tumpeng Tiga Pelinggih Ida I Ratu Poseh












11.  Meru Tumpeng Lima Pelingih Putran Ida Bhatara-Bhatari Sakti Tuluk Biyu














12.  Meru Tumpeng Sembilan Pelinggih Ida Bhatara-Bhatari Sakti Tuluk Biyu Puri Kaleran












13.  Meru Tumpeng Tujuh Pelinggih Ida Bhatara-Bhatari Sakti Tuluk Biyu Puri Kelodan














14.  Padmasana 













15.  Pelinggih Ida Ratu Uluning Bale Agung














16.  Asta Dewata














17.  Meru Tumpeng Tiga Pelinggih Ida Bhatara Sakti Bujangga Luwih














18.  Gedong Pelinggih Ida I Ratu Ayu Mas Melanting














19.  Pelinggih Ida I Ratu Ayu Bunga














20.  Gedong Pelinggih Putran Ida I Ratu Susunan Sakti Maduwe Gama














21.  Gedong Pelinggih Ida I Ratu Gede Bebotoan, Pertiwi Pelinggih Ida I Ratu Gede Pejarakan












22.  Gedong Pelinggih Ida I Ratu Gede Mas Pahit, Pertiwi Pelinggih Ida I Ratu Dalem Majelekah Majelangu














23.  Gedong Pelinggih Hyang Kubayan, Pertiwi Pelinggih Hyang Ibu Kubayan















24.  Apit Lawang



Vita & Vonny




0 comments:

Post a Comment