Pages

Sunday, November 9, 2014

Pura Tirta Yeh Ketipat.

2.1 Sejarah Pura Tirta Yeh Ketipat.
Pada Wuku Landep Sasih Kasa, I Gst. Ngurah Jelantik telah merampungkan tugasnya untuk mempersiapkan jaringan tentang dasa bersama sejumlah keris, maka kembali di gelar persidangan untuk melepas kepergian kibarak putranya ke Denbukit.
Kyayi Manca Warna selaku pemandu perjalanan diminta dalam menjaga keselamatan cucunya. Ketika dilakukan pembagian keris, terjadi keajaiban dengan terdapatnya kelebihan bagi satu bilah keris walaupun pembagian dilakkukan berulang dan jika di kumpulkan kembali akan tetap berjumlah empat puluh yang membuat Ida Dalem tersandar. Disamping kelebihan keris Kibarak pun diberikan sebuah tombak pusaka bernama “Ki Pangkaja Tattwa” atau “Ki Tunjung Tutur” yang menyerupai tulup dan pada ujungnya berisi tombak.

Ida Dalem langsung menyerahkannya sambil berpesan kepada Ki Barak Putranya, tombak Ki Pangakaja Tattwa memiliki makna pengetahuan hakikat kehidupan bunga tunjung, walaupun terlahir dari lumpur namun sangat disucikan, sedangkan tulup kelak dapat berguna didalam  menundukkan musuh-musuh dengan bidikan penuh konsentrasi, tenang dan wicaksananya. (tulup=mapetitis atau mengarahkan bidikan pada sasara yang tepat)
Untuk menemukan “lila” yang dapat menimbulkan intisari pekerti (pakerti ninggesang atau kegiatan hidup) ramening gawe sepi ing pamrih. Demikian pemberian bekal senjata bukan hanya sekedar senjata-senjata dalam arti fisik yang tertuang dalam wejangan melalui peristiwa, timbulnya nama keris cacakan bang (nama dari kumpulan empat puluh satu bilah yang dibagi secara berulang-ulang = keris di letakkan berjajar atau me-cacar-an diambil satu per satu oleh para pengiringnya= ba-ang atau diberikan ).
Setelah selesainya persidangan mereka mohon diri dan ketika itu umur Ke’ibarak baru berusia rorastiban atau empat belas tahun masehi, merupakan perjalanan spiritualnya. Rombongan menuju kekarang pepatihan jelantik untuk menjemput ibundanya (Ni Luh Sanjiwani) dan berpamitan mohon diri sekaligus melaksanakan puspanjali di pemrajan jelantik.
Perjalanan awal menuju samprangan kemudian ke kawisunia yang merupakan wilayah bandana negara sebelum melakukan pendakian alas batunya yang merupakan tupa dan endapan pakar bulian dan beratab purba kira-kira sudah dua hari dan dua malam perjalanan menjelang siang di hari sabtu kliwon landep dan kemudian menuruni perbukitan kecil yang disebut bukit mungsu, rombongan memasuki cekungan terkungkung Danau Beratan yang dikelilingi perbukitan gunung mangu pengelengan, bukit Tapak Rangde teratai Bang, mundukan Danu Bulian dan perbukitan kecil lainnya melewati palembahan Candi Kuning yang dihuni oleh Pande Beratan.
Ki Lempyung yang berjalan selalu paling depan dengan menyandang tombak Ki Pangkaja Tatwa dan Kidosot yang senantiasa mendampingi Ki Barak, mereka semua bersenang bergembira dalam perjalanan panjang walaupun sangat melelahkan. Mereka terhibur oleh keindahan bentangan alam yang ngelangenin (mungkin sulit untuk mereka lupakan seumur hidupnya).
Kyayi Manca Warna sebagai pemandu perjalanan meminta kepada cucunya Ki Barak untuk beritirahat sekalian membuka perbekalan di dataran ujung perbukitan pucak Rsi yang masih memiliki aliran airnya, namun Ki Barak menolak mungkin disebabkan oleh keinginannya segera mendaki perbukitan di sebelah utara Danau Bulian.
Kyayi Manca Warna yang telah memiliki kemampuan mampu hanya mengikuti kemampuan cucunya. Sesampainya di dataran kecil di celah Bukit Mangu setelah pendakian palemahan Watusaga (Watu Mejan) yang cukup terjal Kibarak pun meminta istirahat dan santap siang namun Sang Kakek pergi mendaki puncak bukit yang hanya lagi belasan meter untuk melakukan semadinya memohon kehadapan Hyang Parwata Gunung Mangu agar cucu rombongannya terlindungi dan dapat memperoleh keselamatan.
Mereka lipia (lupa) bahwa bekal airnya telah habis, dan berselang lama mereka pun mengalami cekutan (tersedak berat) membuat Ibunda Pasek Sang Jiwani khawatir gugup dan secara reflek ia pun berdoa singkat dan segera mencabut tongkat pangkaja Tatwa dekati bukit sebelah timurnya untuk dibawa turun ketepian danau mencari air.
Keterangan : menurut penuturan penglingsir danu benyah pancasari; bahwa pada akhir tahun 1960 (31 desember 1960), pangkung yang ada di sepanjang kaki bukit masih memiliki aliran air sehingga di lalang linggah kira-kira masuk sampai di ujung bukit ada yang disebut kayehan (pemandian), ketika terjadi erosi atau banjir besar pada tanggal 31 desember 1960 dengan menewaskan 20 orang penduduk benyah, dan aliran air masih dapat dinikmati sampai akhir tahun 1971 kurang lebihnya seminggu setelah berakhirnya musin penghujan.
Mungkin sudah menjadi kehendak Hyang Kuasa tiba-tiba dari lobang bekas tancapan tombak muncul air kehidupan dengan sangat beningnya dan bersamaan dengan redanya kekalutan Kyayi Manca Warna pun mengakhiri semedinya turun untuk memberikan petunjuk dan nasehat karena sebagai calon pemimpin hendaknya selalu eling dan waspada untuk bertapa (pengendalian diri lahir batin). Hari sabtu kliwon landep merupakan Payogan Ida Sang Hyang Pasupati.
Setelah melakukan doa-doa pemujaan keris cacaran bersama tombak Kilang Kaja Tatwa dimandikan kemudian dimohonkan pemberkatan untuk diperolehnya kekuatan pasupati astra. Kekuatan yang dimiliki oleh Sang Hyang Pasupati atau Tuhan Siwa  Sangkar yang berstana di gunung mangu.
Semenjak itu keris cacaran milik kibarak dicari nama “Ki Paru Semang” karena ia telah memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakeknya membuat Ki Barak Teguh pendirian dan tidak pernah ragu di dalam melaksanakan swadarmanya. Kemudian nama  bukit digantikan menjadi bukit pang-eling. Setelah lama- kelamaan disebut bukit pengelengan lan air pulakan dinamai tirta belah ketipat sebagai ungkapan syukur kehadapan Bhatara Ibu Dewi Parwati sebagai istri Tuhan Siwa yang disebutkan dalam pemujaan Ida Sang Hyang Manik Galih.
Tempat itu disucikan menjadi pura tirta ketipat namun wilayah pemukiman penduduk sebagai pengempon pura di sebut Panjak Yeh Ketipat Desa Wanagiri Kecamatan Sukasada dan Palinggih Parahyangan di bangun di atas bukit pengelengan.
Setelah sore hari perjalanan di lanjutkan menuju Desa Gobleg dengan menyusuri puncak perbukitan mundukan Danau Bulian dan tepat pada satu titik ketinggian di pertengahan Danau Bulian kebarat memberhentikan rombongannya.
Keterangan: keberadaan pulakan tirta ketipat ada dicelah bukit pengelengan, pernah di lengkapi stana pemujaan yang dibangun pada tanggal 12 januari 1976 dan di upacara pemelaspas ngenteg linggih 1 juli 1989 keberadaannya pernah ditanyakan oleh Ketut Sadra alias bapak kuat dari desa runuh, namun karena ketatnya aturan dapat dikatakan pembangunannya dipaksakan. Setelah beberapa kali mengalami bencana dan yang terakhir kalinya tanggal 6 februari 2002. Pengempon pura tirta ketipat memindahkannya kepuncak bukit pada tanggal 6 april 2002 seperti keadaannya sekarang.
Entah apa penyebabnya, Kibarak merasa betah tinggal berlama-lama di tempat ini. Ia termangu menyaksikan keindahan panorama senja kala itu. Dikejauhan barat sana nampak gugusan Gunung Merapi, ijen dan gunung rau terbentangi perairan laut Selat Bali, kemudian ia menanyakannya kepada Sang Kakek dceritrakan, negeri lambangan dan pasuruhan pernah menjadi kekuasaan moyangnya, karena kesalahan Kyayi Ularan ia memperoleh hukuman buang kenenbukit, dan kakek (patih werda jelantik bogol) gugur di negeri pasuruhan.
Tiada dinyana Kibarak pun berteriak pusteris, yang menyatakan bahwa dikelak nanti menjadi penguasa nenbukit, Ghumi Blambangan akan dijadikan jajahannya. Jeringan Petang Dasa semua dibuatnya terkejut mendengar “ Ikrar ” junjungannya.
Kyayi Manca Warna sangat menyadari gejolak hati cucunya, ia teringat akan cakcan (cirri-ciri bawaan kelahiran) yang memiliki bulu gading (membulu gading / kuning keemasan) hanya merupakan  perkecualian dari putra berdarah bangsawan yang telah memperoleh panugrahan nialai-nilai spiritual dan memiliki akil mulia.


2.2 Lingkungan Pura Tirta Yeh Ketipat.
Pura Tirta Yeh Ketipat secara administrasif terletak di Dusun yeh Ketipat Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Pura ini sangat mudah dijangkau dari jalan raya. Pura ini terletak di sebelah timur jalan raya yang menghubungkan jurusan Denpasar-Singaraja, sejenak setelah melewati puncak akan tiba di Pura Tirta Yeh Ketipat.
Konsep tata letak bangunan suci setidaknya dekat dengan sumber-sumber air tidak terlepas dengan konsep tirtha ‘air suci’ yang telah mengakar dalam sendi-sendi ajaran hindu. Disamping itu, dekat dengan sumber-sumber air dapat memudahkan untuk menambil air suci dan sekaligus melindungi sumber-sumber air tersebut dari tindakan yang tidak diharapkan dalam teo-ekologi hindu. Dalam terminologi hindu, air merupakan simbolisasi dari kesucian, kesuburan dan pembersihan. Air sangat penting diperlukan dalam berbagai tingkatan ritual keagamaan. Oleh karena itu, bali sering disebut agama tirtha ‘air suci’, karena dalam berbagai ritual keagamaannya, peran kehadiran air sanagat penting.
Disamping itu, lingkungan di sekitar pura tirta yeh ketipat sangat asri dengan latar belakang pegunungan, tanaman bunga, padang hijau yang tertata rapi dan menambah keindahan tersendiri.
Keindahan dan bentangan alam yang unik, telah ikut melatar belakangi terbentuknya imajinasi para Rsi dahulu untuk mendirikan pura ini dengan strukturnya yang khas. Kawasan ini termasuk daerah dataran tinggi berhawa sejuk. Secara geografis pura ini terletak di tengah-tengah pulau bali dan dikelilingi oleh perbukitan. Adapun batas-batas dari Pura Tirta Yeh ketipat adalah
Bagian utara adalah desa pakraman git-git.
Bagian timur adalah hutan.
Bagian selatan adalah perbukitan.
Bagian barat adalah puncak.


2.3 Struktur Masyarakat Pura.
Berpedoman dengan status umum (Kahyangan Jagat) dari Pura Tirta Yeh Ketipat, sudah tentu penyungsung pura ini memiliki jangkauan yang sangat luas. Adapun masyarakat yang menjadi pendukungnya ialah
a) Pangempon Pura Tirta Yeh Ketipat.
Pengemong pura yang dimaksud adalah sekelompok warga penyungsung yang berkewajiban untuk memprogramkan, merencanakan dan melaksanakan pelaksanaan (ngayah) secara penuh atas upacara dan upakara piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali dan bertanggung jawab atas pemeliharaan fisik pura. Secara khusus istilah masyarakat pengemong atau penyungsung pura tirta yeh ketipat disebut dengan pesatak atau gebog satak. Gebog satak merupakan sistem kemasyarakatan kuna yang berkewajiban memelihara dan mempersiapkan yadnya pada sebuah pura yang cukup besar atau pura Kahyangan Jagat Yang Kuna.
Yang menjadi pangempon di pura tirta yeh ketipat terdapat dua Desa Pakraman yang bertanggung jawab atas pura tersebut yaitu Desa Pakraman Wanagiri dan Amerta Sari.
b) Penyiwi Bhakti
Penyiwi Bhakti yang dimaksud adalah masyarakat secara umum yang datang pedek tangkil ke pura ini dengan penuh rasa bhakti kepada Ida Bhatara yang berstana di Pura Tirta Yeh Ketipat. Namun para pemedek tersebut tidak terikat langsung dengan ayah-ayah atau kewajiban yang ada dipura.
Adapun secara terperinci struktur palinggih dan bangunan pelengkap keagamaan di pura tirta yeh ketipat terdiri dari beberapa pelinggih suci yaitu Padmasana,  Gedong Sesuunan Pucak Luhur Tirta Yeh Ketipat, Meru Tumpang Pitu Sejarah Panji Sakti, Naga Basuki, Sedan Pangenter, Patih Agung, Gedong Penyimpenan Tirta.



1) Pelinggih Padmasana.

Gambar 1. Pelinggih Padmasana

Adapun posisinya menghadap keutara, di bagian depannya terdapat piasan sebagai tempat menaruh banten pada saat piodalan. Yang berstana di tempat ini merupakan Ida Nyoman Sami, fungsinya sebagai penghayatan.

2) Gedong  Ida Betara Sesuunan Pucak Luhur Tirta Ketipat.

Gambar 2. Gedong Ida Betara Sesuunan Pucak Luhur Tirta Ketipat.

Di sebelah barat Padmasana terdapat sebuah gedong sesuunan Pucak Luhur tIrta Ketipat. Sane Melinggih Ida Betara Penglisir  Pura Tirta Ketipat, fungsinya untuk ngastiti pujawali.



3) Meru Tumpang Pitu.

Gambar 3. Meru Tumpang Pitu

Sejarah sesuunan Ida Betara Panji Sakti pemeran Ida Ring Meru. Sebagai pemujaan ilmu pengetahuan.





4) Naga Basuki.

Gambar 4. Naga Basuki

Ida Betara Ring Besakih Eka Dasa Ludra Mengenah. Fungsinyane Naga Basuki.

5) Sedan Penganter.
Fungsinyane Genah Perancang-Perancang Ida

Gambar 5. Sedan Pangenter
6) Pura Beji.
Terletak pada sisi timur Pura Tirta Yeh Ketipat, terdapat Pura Beji. Tempat ini difungsikan untuk melakukan upacara Ngabejiang dan memohon air suci pada saat piodalan dan pada saat pujawali tempek landep. Sebagai tempat pengambilan tirta oleh masyarakat sekitar seperti daerah Wanegiri dan Amerta Sari.


Gambar 6. Pura Beji


Eka & Wahyuni

0 comments:

Post a Comment